Bacaan: Daniel 6:1-28
Daniel merupakan seorang sosok yang unik dicatat di dalam Perjanjian Lama. Sejak dari cerita Sekolah Minggu Daniel berhasil mendapatkan tempat dalam kanonisasi cerita-cerita Alkitab untuk anak-anak dengan pengalaman gua singanya. Cerita Sekolah Minggu http://theessaymag.com/canada/ inilah yang juga akan kita renungkan pada saat ini. Namun, karena kita toh sudah bertumbuh lebih dewasa, kita harus belajar untuk kagum lebih daripada sekedar karena keajaiban yang terjadi pada singa-singa yang mengambil sikap puasa sangat berhadapan dengan Daniel. Memang, pasal 6 ini merupakan pasal yang menarik untuk digali dan dihayati oleh setiap orang percaya.
Daniel bukanlah seorang nabi dalam pengertian yang sempit seperti nabi Yesaya, Yehezkiel, atau Yeremia. Daniel lebih mirip seorang sarjana (scholar) daripada seorang nabi atau imam, atau Pendeta, Penginjil, atau missonaris, dalam bahasa kita sekarang. Dia http://mccallssf.com/ lebih menyerupai seorang jemaat awam. Jemaat awam yang merindukan dibangunnya kembali kehidupan beribadah di Bait Allah yang kudus yang telah diruntuhkan oleh musuh Israel. Namun jemaat awam ini memiliki kasih kepada Allah yang tidak lebih dangkal daripada para imam, Pendeta, ya banyak hamba Tuhan. Daniel meneguhkan kembali cerita reformatoris yang mengajarkan bahwa yang namanya dipakai Tuhan tidak hanya di biara, tidak hanya sebatas gedung gereja, tidak hanya orang yang menyerahkan diri menjadi yang disebut ‘hamba Tuhan full-time’. Ternyata seorang jemaat awam, dengan pekerjaan dan panggilannya yang juga awam dapat mengerjakan hal yang sangat bermakna dalam hidup ini, dan terutama, menyenangkan dan memuliakan Allah. Ajaran Gereja yang mengajarkan bahwa seseorang yang mau dipakai oleh Tuhan tidak ada pilihan lain kecuali menyerahkan dirinya menjadi ‘hamba Tuhan full-time’ yang dididik di sebuah sekolah teologi, sebaliknya mereka yang masih bekerja dalam dunia ‘sekuler’ adalah mereka yang masih cinta uang karena belum mau menyerahkan diri menjadi ‘hamba Tuhan full-time’ merupakan sebuah jalan cerita yang tidak dapat dihidupi, ya, setidaknya tidak dapat dihidupi oleh seorang Daniel.
Mungkinkah Tuhan memakai seorang sarjana, seorang ‘akademis’ seperti Daniel? Bukankah sering dikatakan kalau Tuhan mau bekerja, Dia tidak akan menggunakan orang akademis? Lihat saja, betapa banyaknya orang bergelar yang tidak dipakai oleh Tuhan! Demikian katanya. Namun, cerita Daniel yang kita baca dalam Kitab Suci ini justru membuktikan sebaliknya. Sarjana atau bukan sarjana bukanlah persoalannya. Akademis atau tidak akademis juga bukan permasalahannya. Entah sederhana atau berpendidikan tinggi, Tuhan akan memakai orang yang dikehendaki-Nya karena Tuhan berdaulat dan mahakuasa. Jangan memojokkan Tuhan untuk hanya boleh memakai orang yang berpendidikan tinggi saja, tapi juga jangan membatasi Tuhan dengan memaksa Dia untuk hanya memakai orang yang berpendidikan sederhana. Singkat kata, Daniel menghidupi ke-sarjana-annya, dan dia dipakai Tuhan!
Apakah kita termasuk tiga besar dalam institusi atau perusahaan tempat kita bekerja, seperti Daniel yang termasuk salah satu dari tiga pejabat tinggi dalam masa pemerintahan Darius, bukanlah merupakan sesuatu yang harus kita kejar mati-matian. Tidak ada satu ayat pun dalam Kitab Suci yang mengatakan, ‘Hai saudara-saudaraku yang terkasih, jadilah paling sedikit tiga besar!’ Yang ada malah Yesus menegur murid-murid yang ingin menjadi dua besar dalam kerajaan-Nya kelak (Mrk 10:35-45). Jadi bagaimana? Entah kita besar atau tidak itu bukanlah bagian kita, itu bagian kedaulatan Allah. Lalu apa jika demikian yang menjadi bagian kita? Bagian kita adalah mengejar roh yang luar biasa seperti yang ada pada Daniel itu. Ya, hidup dipenuhi oleh Roh Kudus. Itu adalah bagian yang harus kita kejar dengan sepenuh hati. Kelebihan Daniel dari pejabat-pejabat yang lain adalah karena dia memiliki roh yang luar biasa itu. Itu bukan dari dirinya sendiri, itu juga bukan sekedar kecerdasan istimewa yang dimiliki olehnya, namun itu adalah penyertaan dan kehadiran Tuhan dalam hidupnya.
Roh yang luar biasa ini bahkan juga dikonfirmasi oleh pejabat-pejabat tinggi lainnya, yang seharusnya menjadi rekan kerjanya, namun alhasil, justru menjadi musuh-musuh Daniel karena hidup mereka dihantui oleh perasaan tidak aman karena kelebihan yang ada pada Daniel. Mereka ini, yang jelas dikuasai oleh perasaan tidak suka, tetap tidak dapat menemukan suatu kesalahan atau kelalaian dalam pekerjaan Daniel. Daniel, sebagai ‘jemaat awam’ ternyata memiliki spirit of excellency, semangat atau jiwa untuk memberikan yang terbaik yang dia dapat berikan. Orang-orang percaya tidak harus menjadi orang juara satu (mereka yang menghidupi gaya hidup menjadi juara satu adalah orang-orang kiasu yang lebih pantas menjadi penganut Darwinisme daripada kekristenan!). Namun, orang-orang percaya seharusnya memiliki karakter untuk selalu berusaha memberikan yang terbaik yang dapat dia berikan, termasuk dalam tempat pekerjaannya, dalam studinya, dalam kehidupan keluarganya. Ini adalah bagian dari ibadah yang hidup. Dan benar saja, pejabat-pejabat yang iri hati itu hanya bisa mendapatkan alasan dakwaan terhadap Daniel dalam hal ibadahnya kepada Allah. Oh alangkah indahnya ironi ini. Mereka tidak mendapatkan kesalahan apa pun dalam diri orang percaya, kecuali ‘kesalahan’ kesalehannya.
Seperti kebiasaan orang-orang yang berhati sempit, para pejabat yang merasa terancam dan tidak aman ini merencanakan sesuatu yang jahat terhadap Daniel dengan naik banding kepada atasan mereka yaitu Darius. Oh ya, orang-orang yang iri itu biasanya tidak memiliki kekuatan untuk mengekspresikan iri hatinya secara langsung, mereka akan datang kepada para atasan untuk menjatuhkan orang-orang yang tidak mereka sukai. Sebuah teknik lama yang terus-menerus dipergunakan sampai hari ini. Apa boleh buat, sang raja, Darius ternyata juga rentan dan gila pujian dan hormat. Ia dijebak dengan jilatan-jilatan yang menggelitik dan agaknya memang cukup menyenangkan hatinya. Siapa yang dapat tahan kalau semua orang hanya menyampaikan permohonanan kepada saya seorang diri? Siapa yang tahan kalau semua orang paling menghormati saya? Oh tidak-tidak, saya bukan merasa diri seperti Tuhan loh, karena ini kan hanya tiga puluh hari saja (ay. 8), jadi saya sadar kok penghormatan ini hanya berlangsung sementara. Eh, setidaknya kalau boleh, selagi saya masih hidup, itu kan juga cuma sementara! Betapa banyaknya pemimpin Kristen yang menikmati secara diam-diam sikap hormat yang seharusnya ditujukan hanya kepada Tuhan! Namun, ya, itulah manusia. Apakah yang dapat diharapkan dari seorang manusia?
Daniel juga mendengar tentang pembuatan surat perintah itu. Tapi apa yang diperbuat? Dia tetap beribadah kepada Allah yang dipercayainya, seperti yang biasa dilakukannya (ay. 11). Bodoh sekali si Daniel ini? Terlalu tulus dia (dan kurang cerdik)! Toh dia tetap bisa berdoa juga, tapi kali ini jangan di penthouse lah, kelihatan semua orang. Lebih baik di dalam kamar, kamar yang terkunci dan tidak dilihat oleh siapa pun juga. Lagipula ada dasar Kitab Suci-nya kan? Mengapa dia tidak bisa ‘lincah’? Namun penulis Kitab Daniel agaknya tidak memberikan keterangan redaksional apa-apa bahwa di situ Daniel sedang melakukan satu keputusan yang kurang bijaksana. Tidak ada keterangan-keterangan seperti itu. Ada saat dalam kehidupan pekerjaan kita ketika kita secara harafiah memang harus memilih apakah kita mau mengikut Tuhan atau mendukakan Tuhan. Dalam saat-saat seperti ini kita tidak dapat berdalih, ‘Ah itu kan dualisme, saya tetap taat kepada Tuhan sambil taat juga kepada atasan saya.’ Persoalannya, tidak ada satu atasan pun di dunia ini yang dapat kita taati seperti kita menaati Tuhan. Tidak ada. Kecuali dia adalah Tuhan. Darius bukan Tuhan dan karena itu Daniel juga tidak harus taat kepada peraturan yang dibuat Darius semutlak ketaatannya kepada Tuhan yang dia sembah. Dengan iman, Daniel telah memilih untuk lebih menyenangkan Tuhannya daripada menyenangkan pemimpinnya.
Sampai di sini kita membaca dalam pasal 6 ini bahwa lawan-lawan Daniel kelihatannya berhasil dengan rencananya. Raja Darius tidak dapat berbuat apa-apa. Dia sudah terjebak, bukan hanya dengan keputusannya sendiri yang tidak bisa lagi diubah, tapi terutama dengan gila hormatnya. Namun, ketika kita membaca dalam cerita ini, Darius menyesal setelah sadar. Kesadaran yang terlambat, namun setidaknya menyatakan bahwa Darius toh bukan orang yang bebal hati nuraninya. Diam-diam dia mengusahakan pembebasan dan pertolongan bagi Daniel, karena sebenarnya ia tahu bahwa Daniel tidak bersalah. Ini adalah satu penghiburan bagi kita: di tempat pekerjaan kita, di tempat di mana kita berkarya, Tuhan masih menyisakan orang-orang yang masih memiliki hati nurani yang tidak bebal. Dunia ini tidak sepenuhnya jahat karena masih ada anugerah Tuhan yang membatasi dan menahan kejahatan itu. Dan kita juga boleh berharap bahwa orang-orang yang memiliki iman yang berbeda dengan kita dapat mempunyai hati nurani yang baik, karena adanya anugerah umum Tuhan. Bayangkan kalau semua orang di tempat pekerjaan kita tidak ada satu pun yang memiliki hati nurani yang benar. Alangkah miripnya tempat di mana kita bekerja dengan cicipan neraka.
Sekalipun telah menyesal Darius tetap tidak dapat menolong Daniel. Pertolongan bagi Daniel hanya berasal dari Allah, supaya segala kemuliaan kembali kepada-Nya dan bukan dibagikan sebagian kepada Darius. ‘Aku tidak akan memberikan kemuliaan-Ku kepada yang lain,’ demikian kata TUHAN (Yes. 42:8). Demikian dalam cerita ini, Allahlah sepenuhnya yang menyelamatkan Daniel dari ketidak-adilan itu. Allah yang mengurus perkara Daniel, ketika semua manusia gagal menjalankan yang adil dan benar. Namun, pesan terpenting dalam cerita ini bukanlah bahwa akhirnya Daniel tidak diterkam oleh singa-singa, karena jika demikian halnya, cerita ini akan menjadi olok-olok bagi para martir yang diterkam oleh binatang liar yang sama itu ketika para kaisar yang kejam dan tidak takut akan Allah itu menyerahkan mereka menjadi mangsa. Apakah para martir itu tidak memiliki iman sebesar Daniel? Apakah mereka tidak patut dipuji sebagai orang-orang percaya yang telah mengakhiri hidup mereka bersama dengan Tuhan? Jika demikian halnya, mengapa Kitab Wahyu menyebut pengorbanan mereka dengan istilah ‘darah orang-orang kudus’ dan ‘darah saksi-saksi Yesus’? Jelas ini menyatakan bahwa bukan kelepasan Daniel dari singa-singa itu yang menjadi inti dari cerita Daniel dan gua singa ini. Jika Tuhan mau melepaskan, tentu Dia sanggup melepaskan, namun jika tidak, biarlah Nama-nya tetap dipermuliakan. Dilepaskan atau tidak, itu bukanlah pertanyaannya, melainkan: Tuhan dipermuliakan atau tidak entah dalam kelepasan entah dalam kematian.
Daniel tetap menyebut Darius sebagai raja dan tetap mengucapkan kalimat berkat (ay. 22). Tidak ada kepahitan dalam diri Daniel meskipun raja telah mengambil satu keputusan yang fatal dengan mendengarkan para pejabat penjilat itu. Daniel tidak menghidupi jalan bersama Allah dengan pengalaman-pengalaman traumatis masa lampau yang tidak pernah berhasil diselesaikannya. Tidak. Dia menutup masa lampau bersama dengan Allah, dengan kuasa pengampunan yang dari Tuhan, dengan iman yang percaya kepada kedaulatan Tuhan. Daniel terus berjalan bersama dengan Allah karena Daniel tidak pernah mengamankan posisinya sendiri dalam kerajaan dunia yang kelihatan ini. Posisi dalam dunia yang kelihatan selalu naik dan turun, tidak ada yang kekal. Namun Daniel, bersama dengan Allah, telah menduduki posisi yang tidak dapat digeser maupun diturunkan oleh siapa pun dalam Kerajaan Allah. Pasal 6 ini diakhiri dengan keterangan singkat bahwa Daniel masih memiliki kedudukan sampai pada zaman pemerintahan Koresh. Ya, dari zaman Nebukadnezar, Belsyazar, Darius, sampai kepada Koresh. Apa artinya? Posisi dalam dunia yang kelihatan terus berganti, hanya mereka yang menempati posisi dalam Kerajaan Allah yang akan memerintah kekal bersama dengan Allah. Apakah yang kita cari dalam keseharian pekerjaan kita? Kedudukan yang tinggi dalam dunia yang kelihatan atau memastikan kita menduduki tempat yang diperuntukkan bagi kita dalam Kerajaan-Nya?
In God’s Kingship,
Billy Kristanto