Doa Bapa Kami

Bacaan: Matius 6 : 9 – 15

Saya ingin mengulangi lagi pembacaan ini, walaupun sebetulnya minggu lalu kita sudah sampai ke ayat 10, tapi dalam perenungan mungkin ada point-point yang belum dibahas. Kadang-kadang dalam pembacaan Firman Tuhan kita harus belajar membaca dan mengerti dengan model spiral, bukan setelah selesai 1 ayat lalu kita masuk ke ayat berikutnya. Seperti mata rantai, ada pengulangan tapi sekaligus juga progression. Mungkin dalam takaran sekarang kita cukup belajar sampai tahap itu, baru setelah itu kita masuk ke tahap berikutnya. Ini lebih sesuai dengan apa yang diajarkan Firman Tuhan, karena sifat Firman Tuhan adalah dinamis, bukan statis, pengenalan adalah sesuatu yang progresiv. Bahkan Jonathan Edwards berani mengatakan bahwa bahkan di surga pun masih terjadi progresi di mana di surga sukacita orang percaya akan terus bertambah sampai selama-lamanya. Sekali lagi di sini kita mendapatkan prinsip yang sama yaitu surga bukan sesuatu yang statis.

Ini juga yang seharusnya kita alami. Salah satu kehidupan Kristen yang paling menakutkan adalah tidak bertumbuh. Tidak peduli tingkat rohaninya di mana. Dalam Reformed Theology kita lebih menekankan proses pertumbuhan yang berjalan daripada pencapaian rohani (dalam level tertentu). Lebih baik kita mengkonsentrasikan diri untuk mendorong orang lain untuk bertumbuh, dengan demikian kita lebih mementingkan progress daripada target, karena kita tidak berhak mengatur ‘target’ Tuhan. Tugas kita hanya menabur dan mengharapkan orang lain untuk bertumbuh. Seperti dikatakan oleh Luther, orang yang melayani sedemikian akan memiliki ketenangan dan keberserahan diri (Gelassenheit).

Kembali dalam pembahasan kita, „Bapa kami” adalah istilah yang lebih tepat daripada terjemahan bahasa Ingrris karena penekanan utama pada Bapa sebagai sapaan. Yang disebut adalah Bapa kami. Tuhan Yesus mengajarkan doa dalam spirit persekutuan dan komunitas, bukan doa individualistik. Waktu kita berdoa Bapa kami, sebetulnya kita dituntut suka bersekutu dalam doa. Sebetulnya semua prinsip ini berkait, antara apa yang dibahas. Mengapa disebut Bapa kami, bukan Bapa saya? Bukan berarti Yesus Kristus tidak setuju orang berdoa pribadi, karena Dia sendiri berdoa secara pribadi. Sangat perlu orang berdoa pribadi. Tapi dalam Doa Bapa Kami, Dia menekankan aspek persekutuan. Ini langsung berkait dengan kalimat, datanglah kerajaanMu (bukan kerajaanku). Artinya bersifat global. Orang yang tidak pernah berdoa bersama dengan orang lain, cenderung dia tidak punya pergumulan Kerajaan Allah disitu dan hanya ada kepentingannya sendiri. Dia berdoa untuk apa yang menjadi pergumulan pribadinya, atau paling luas keluarganya (bukan keluarga orang lain). Karena itu Doa Bapa Kami menjadi ajakan bagi kita sekaligus untuk terlibat dalam persekutuan doa, berdoa bersama-sama dengan orang lain yang memiliki kepentingan berbeda, tapi sewaktu kita berdoa bersama maka saya bisa turut mendoakan kepentingan orang lain dan demikian juga sebaliknya. Maka hatinya menjadi lebih luas. Waktu hati lebih luas itulah yang dimaksud dengan mengerti Kerajaan Allah, bersifat global. Kerajaan Allah menuntut sikap hati yang luas, bukan sempit. Bernard des Clairvaux pernah menerima permintaan untuk membahas “langkah-langkah menuju kerendahan hati”, yang akhirnya dijawabnya dengan tulisan “langkah-langkah menuju kecongkakan hati” karena baginya langkah menuju kecongkakan hati dan langkah menuju kerendahan hati adalah persis sama hanya arahnya saja yang berlawanan. Dalam tulisan yang terkenal itu dia menulis (dalam konteks biara/monastik) bahwa ciri khas biarawan yang congkak adalah dia enggan berdoa bersama dan selalu mau berdoa sendiri. Kecongkakan salah satunya bisa ditandai dengan keinginan untuk terus-menerus sendiri (baca: independen) dan tidak mau bersekutu bersama-sama dengan orang lain.

Kembali dalam prinsip ini, Tuhan Yesus mengajarkan kita untuk menikmati berkat persekutuan di dalam doa sewaktu kita bersekutu dengan orang lain, itu merupakan satu tanda bahwa hidup kita memiliki concern Kerajaan Allah. Gereja yang hanya berusaha untuk memperluas wilayah secara teritorial fisik (seperti pada jaman abad pertengahan), kekuatan institusional-organisatorial belaka, sebenarnya tidak mengerti prinsip firman Tuhan. Kalau gereja tidak ada tempat beribadah, tidak ada posisi institusi yang kuat, kita tidak perlu berkecil hati karena pekerjaan Tuhan tidak akan dihalangi oleh hambatan-hambatan itu. Di dalam teologi Reformed kita berusaha untuk mengajarkan kedua aspek ini (aspek institusional dan juga aspek persekutuan orang-orang kudus). Gereja yang terlalu menekankan aspek institusionalnya cenderung akan menjadi gereja yang sempit, yang bisa-bisa mengidentikkan gerejanya dengan Kerajaan Allah. Apakah kita menjadi gusar jika kita mendengar berita gereja yang bukan tempat kita beribadah mengalami kemajuan pesat dalam pekerjaan Tuhan? Kalau kita merasa gusar karena hal tersebut, ini adalah satu tanda bahwa jiwa kita sebenarnya sempit, karena gereja kita bukanlah Kerajaan Allah. Perhatikan pekerjaan dari hamba-hamba Tuhan yang paling diberkati Tuhan, mereka pasti berpikir melayani di dalam Kerajaan Allah, bukan sekedar dalam gereja lokal (meskipun mereka memang terlibat dalam gereja lokal yang kelihatan dan bukannya gereja awang-awang). Paulus melayani di gereja Efesus selama 3 tahun dan tetap mengingat jemaat itu dalam masa pelayanan berikutnya, demikian juga dilakukannya terhadap jemaat-jemaat yang lain. Kalau Paulus cuma memikirkan dan membangun jemaat Efesus, waktu jemat ini hancur, kaki dian ditarik, maka pasti pekerjaan Paulus hancur semuanya. Kenyataannya tidak (sekalipun gereja Efesus betul-betul hancur pada saat ini!), tulisan Paulus sampai saat ini masih dipelajari orang dan menjadi berkat bagi gereja-gereja Tuhan sepanjang jaman. Mengapa? Karena ketika dia melayani gereja Efesus, dia melayani dalam konteks dan konsep Kerajaan Allah. Pekerjaan Paulus terpelihara di dalam kekekalan karena dia bekerja dalam Kerajaan Allah.

Mereka yang pekerjaannya hangus terbakar dan tidak tahan uji, adalah pekerjaan orang-orang yang membangun kerajaannya sendiri dan bukan Kerajaan Allah. Kita perlu memiliki keluasan hati sebagai karakter kristen yang wajar. Apa bedanya orang yang bekerja di perusahaan yang dikuasai filsafat sekuler dan bekerja dalam ladang Tuhan? Dalam pandangan pekerjaan dunia, orang menekankan keahlian (skill), tidak terlalu menekankan karakter. Tidak ada orang yang dipecat di kantor karena sombong, iri hati, dsb. Dunia tidak peduli dengan karakter, yang penting keahlian dan kemampuan. Atasan yang sendirinya karakter tidak baik tidak mungkin menegur bawahan karena karakter tidak baik, bukan? Namun di dalam ladang Tuhan, prioritas utama ada pada karakter (yang menyerupai Kristus). Bukan berarti keahlian dan kemampuan tidak penting, tapi kita percaya bahwa orang yang mau dipakai dan dibentuk oleh Tuhan, tidak sulit untuk mendapatkan kemampuan dan kesanggupan dari Tuhan Yang Mahakuasa. Investasi yang paling sulit adalah pembentukan karakter.

Dalam firman Tuhan dikatakan bahwa banyak orang mengejar hal–hal yang di luar dirinya (eksternal), sementara dia sendiri tidak tahu menghargai sesuatu yang sangat berharga di dalam hidupnya, yaitu jiwanya sendiri. Dia tidak peduli. Dia lebih suka bagaimana bekerja sebanyak-banyaknya, mencapai prestasi ini dan itu tapi tidak pernah memikirkan jiwanya sendiri. Ini bukan persoalan binasa atau tidak binasa ‘saja’ (pakai tanda kutip karena binasa tidak bisa dikatakan ‚saja’), tapi juga merugikan jiwanya. Alkitab mengatakan ‘membinasakan atau merugikan jiwanya”, jadi tidak harus binasa tapi orang juga bisa mengalami kerugian di dalam jiwanya. Dia memang diselamatkan tapi mengalami kerugian karena tidak mempedulikan pembentukan Tuhan. Kita harus lebih menekankan being daripada prestasi dan pencapaian (achievement). Richard Mauw pernah mengkritisi paham WWJD (What Would Jesus Do) yang banyak dijadikan patokan etika bagi banyak orang injili (dalam pengertian yang positif tentu pertanyaan seperti ini baik karena intinya memikirkan apa yang Tuhan akan lakukan dalam kondisi yang saya hadapi seperti ini). Namun bagaimana jika (suatu contoh yang agak ‘nakal’ tapi beralasan), jika suatu saat kita berada dalam suatu keadaan di mana kita terlambat menjenguk seorang yang sakit keras, yang akhirnya meninggal saat kita datang ke rumahnya, orang ini memiliki dua orang saudara perempuan yang sangat mengasihinya dan sepertinya tidak rela dengan kepergiannya? Lalu kita bertanya “What would Jesus do? Ya, dalam Alkitab tertulis jelas sekali: “Lazarus, keluar dari kubur!” Itulah yang Yesus lakukan! Bagaimana jika suatu saat kita naik kapal lalu ada ombak besar yang berbahaya? Kita sulit ‘meneladani’ Yesus dalam saat seperti itu, bukan? Pointnya adalah, WWJD tidak betul-betul mengena dalam kehidupan Kristen. Kita bisa menambahkan satu point lagi, yaitu sejak revolusi industri orang rupanya lebih suka membicarakan doing daripada being, karena mesin memang tidak memiliki being. Lama-kelamaan orang jadi makin mirip mesin, dignitas pribadi saya ditentukan oleh berapa banyak yang saya hasilkan. Jangan-jangan “What would Jesus do” pun merupakan pertanyaan pasca revolusi industri. Mengapa tidak menanyakan “Who Jesus Is?” Siapakah Yesus itu? Yaitu being, bukan doing yang tampaknya tidak selalu lancar untuk ‘diteladani’. Apa yang dikerjakan 2 orang yang sama-sama mengasihi Tuhan belum tentu sama, dan karena itu yang seharusnya diteladani adalah being, bukan doing.

Dalam Kerajaan Allah, yang dipersoalkan adalah being, bukan doing. Doing sebenarnya merupakan persoalan yang mudah sekali, jika being beres (seperti Yesus), doing pasti berjalan alamiah karena Yesus bukan pasif (tidak mengerjakan apa-apa), karya Tuhan pasti akan dinyatakan. Yang menjadi persoalan adalah being belum beres sudah mau banyak doing, dan yang lebih celaka lagi, orang berusaha merasionalisasi kelemahan being dengan topeng doing! Alkitab menyebut doing yang tidak mencerminkan being, namanya munafik. Berdoa tapi dalam hati tidak berdoa, memberi sedekah tapi dalam hati tidak peduli, melayani tapi sebenarnya membangun kerajaan sendiri! Doing gampang sekali dimanipulasi, sedangkan being tidak bisa. Being pasti akan dipancarkan dalam doing, tapi doing bisa dilakukan tanpa being, itulah persoalannya. Sehingga dalam Kerajaan Allah, termasuk dalam seluruh aspek hidup, kita harus menekankan being daripada doing. Ini bukan menciptakan dualisme antara doing dan being, karena kita percaya believing, understanding/knowing, being, doing, semuanya satu paket. Orang percaya sejati, memiliki pengertian yang benar, orang yang melakukan dan karakternya sendiri pasti diubahkan oleh Tuhan. Tapi persoalannya, berapa banyak orang Kristen yang mau melayani tapi dia sendiri tidak mau diubahkan oleh Tuhan! Kita harus menghargai pembentukan yang Tuhan kerjakan didalam diri kita. Kita sibuk mengejar yang diluar karena kita pikir itu menentukan dignitas hidup kita, tapi ironisnya Tuhan sendiri mengejar jiwa kita. Lalu kita tidak menghargai diri kita yang dikejar oleh Tuhan dan malah mengejar yang lain sedangkan yang lain itu akhirnya akan lenyap. Inilah hidup manusia yang penuh dengan ironis, yang tidak sesuai dengan apa yang terindah yang Tuhan hendak kerjakan. Saya tidak tahu apakah kita memperhatikan perubahan karakter dalam hidup studi, bekerja, keluarga dsb, sementara Tuhan ‘invest’ paling besar disitu. Salah satu karakter yang harus kita pelajari seumur hidup dalam konteks mengerti Kerajaan Allah adalah keluasan hati.

Orang-orang yang sempit hatinya secara ironis selalu ingin bekerja sebesar-besar dan seluas-luasnya (bandingkan Hitler yang melakukan ekspansi ke mana-mana!), ada kontradiksi di sini. Bekerja keras hanya memikirkan scope wilayahnya sendiri, tidak memikirkan untuk membangun Kerajaan Allah. Hati sempit tapi mau bekerja banyak dan mendapat wilayah luas? Bagaimana? Yang disebut luas, dalam pengertian Kerajaan Allah adalah sikap hati terlebih dahulu daripada ladang yang kita kerjakan. Kalau kita memiliki hati yang luas, Tuhan akan mempercayakan pekerjaan semakin lama semakin luas, jadi bukan pekerjaan yang menjadi ukuran, tapi ukurannya adalah being kita dulu. Dapatkah kita dengan tulus mengakui dan menghargai kelebihan orang lain yang lebih baik daripada saya? Atau kita justru gelisah dan berjuang untuk membuktikan diri bahwa kita sedikitpun tidak kalah daripada dia? Sikap seperti ini adalah sikap kekanak-kanakan yang tidak akan membawa kita ke mana-mana alias berputar-putar tanpa progres. Dunia selalu akrab dengan spirit persaingan, suatu kebudayaan yang dihasilkan dari kesempitan hati.

Dalam “eight deadly thoughts” karya Evagrius dari Pontus (yang menjadi sumber dari “seven deadly thoughts” yang dikembangkan oleh Thomas Aquinas) dicantumkan salah satu dosa yang menghambat pertumbuhan seorang adalah puji-pujian yang sia-sia (vain glory). Orang yang suka pujian yang sia-sia ini suka sekali di-acknowledge, di-recognize oleh orang lain, orang itu akan gusar kalau ada orang lain dipuji karena hatinya sempit, tidak suka ada orang lain yang melebihi dia. Ini membuat kita sulit menikmati berkat Kerajaan Allah. Orang yang hidupnya sempit menerima berkat Tuhan juga sempit karena hatinya sempit. Tuhan memberikan berkat supaya kita mengalirkan berkat itu kepada orang lain, ini prinsip Alkitab. We are given to give. Kita diberi supaya kita bisa menyalurkan. Kalau kita tidak bisa menyalurkan berkat Tuhan, Tuhan bagaimana akan memberikan kepada kita dengan berkelimpahan, bukankah lebih baik diberikan kepada orang yang bisa membagi-bagikannya bagi sesamanya. Hidup yang tidak bisa menghargai berkat Tuhan adalah hidup yang sempit. Hidup yang sempit adalah hidup yang tidak mengerti keluasan anugerah dan pekerjaan Tuhan. Yesus Kristus menjadi contoh yang sempurna karena Dia mati bagi menanggung dosa dunia. Dalam pertumbuhan kerohanian yang sehat kita seharusnya bertumbuh di dalam aspek ini. Latihan rohani apa yang dapat kita lakukan agar beroleh hati yang luas? Spiritual exercise yang bisa kita lakukan yaitu belajar mendoakan orang lain, sederhana sekali. Belajar mendoakan orang lain, memberikan dorongan (encouragement) bagi orang lain, ini membantu kita memiliki hati yang luas. Orang yang memiliki hati yang luas lebih mengerti apa itu kehendak Tuhan, apa itu Kerajaan Allah.

Lalu berikutnya, jadilah kehendakMu di bumi seperti di surga. Kenapa seperti di surga? Karena di surga kehendak Tuhan terjadi secara sempurna. Sebagaimana sudah dibahas seolah-olah ada 2 kehendak Tuhan yang saling berkontradiksi (kehendak kedaulatan Allah dan kehendak umum/moral Allah). Pertanyaan klasik yang terus diajukan yaitu jika Tuhan menetapkan segala sesuatu bagaimana manusia dapat dikatakan mempunyai kehendak bebas? Perhatikan bahwa pertanyaan ini sebetulnya muncul dari mereka yang menganut paham abad pencerahan yang sangat menekankan kebebasan manusia yang sudah dewasa (yaitu kebebasan yang tanpa Allah) sehingga orang percaya tidak boleh terjebak dengan pertanyaan produk enlightenment. Persoalan free will ini sebetulnya dikaitkan secara perspektif dengan kehendak moral Allah, kita tidak perlu bingung dan membenturkan free will dengan kehendak kedaulatan Allah karena ini merupakan kesalahan kategori perspektif. Allah memiliki kehendak kedaulatan, semuanya yang terjadi berada di dalam kehendak kedaulatan Allah, bahkan rambut yang jatuhpun di dalam kedaulatanNya. Jadi segala sesuatu yang terjadi tidak ada yang di luar kehendak kedaulatan Tuhan, semuanya dalam kehendak Tuhan, itulah kehendak kedaulatan Allah. Tapi Alkitab juga menyatakan kehendak moral Allah seperti agar kita saling mengasihi, berkata jujur, jangan meninggalkan pertemuan-pertemuan ibadah, dsb. Kehendak moral Allah seringkali dilanggar. Waktu kita membicarakan free will kita berkait dengan kehendak moral Allah, bukan kehendak kedaulatan Allah. Apakah manusia memiliki kehendak bebas? Pasti, karena manusia bisa tidak taat kepada perintah Tuhan. Berarti kita punya free will, tapi free will kita tetap berada dalam kehendak kedaulatan Allah. Ini dua hal yang sulit kita mempersatukan karena dunia ini sudah jatuh, dosa sudah merusak sehingga menimbulkan kontradiksi-kontradiksi termasuk kontradiksi dalam pikiran, sehingga teolog-teolog yang saleh dengan rendah hati akhirnya harus mengakui bahwa hal ini bersifat paradoks. Kita percaya di surga paradoks ini akan beres karena kehendak kedaulatan Allah sama dengan kehendak moral Allah (baca: tidak ada lagi dosa). Tidak ada lagi persoalan seperti yang kita hadapi di dunia di mana kehendak kedaulatan Allah seperti berbenturan dengan kehendak moral Allah. Maka sekali lagi, kita semakin mencicipi kenikmatan keutuhan (integritas) hidup surgawi dengan taat kepada kehendak Tuhan. Semakin kita taat kepada Firman Tuhan semakin kita kurang mengalami kontradiksi (baca: disintegrasi) dalam hidup ini, dan bukan hanya persoalan paradoks di atas melainkan juga keterpecahan hidup pada umumnya.

Neraka adalah a place of contradiction. J.P. Sartre, seorang ateis pernah menggambarkan neraka dengan cara yang sangat menarik. Seseorang berada dalam suatu kamar yang terkunci, dia mencoba untuk keluar dari ruangan tersebut namun gagal, dia pikir „Ah, mungkin besok pintu akan dibuka.” Esok harinya dia mencoba lagi, ternyata masih terkunci, dia menunggu dan berharap lagi untuk hari berikutnya. Begitu seterusnya sampai selama-lamanya terus berharap tanpa pernah mengalami apa yang diharapkannya. Disitu neraka digambarkan seperti orang yang setiap hari berharap tapi sebetulnya tidak ada harapan yang akan terjadi. Bisa ada semacam perasaan cinta kasih untuk saudara-saudaranya yang belum bertobat tapi kenyataannya tidak ada kemungkinan untuk mengekspresikan obyek kasih (cerita Lazarus dan orang kaya). Lalu seperti ada penyesalan mengapa dulu melakukan ini dan itu tapi sesungguhnya tidak ada kemungkinan pertobatan. Semua yang kontradiktif terjadi disana. Absolute theological madness, itulah neraka, suatu kegilaan teologis yang tidak bisa ditanggung lagi. Kontradiksi dan keterpecahan hidup yang tidak ada lagi jalan keluarnya. Sebaliknya surga adalah kehidupan yang semakin lama semakin menuju kepada integritas, makin utuh, seperti yang dikatakan Paulus, kita melihat muka dengan muka. Sementara di dunia kita melihat samar-samar, sebagian atau partial, belum utuh. Kita menjadi semakin utuh. Persoalan Kerajaan Allah seharusnya kita mengerti secara demikian, dikaitkan dengan kehendak Allah dimana kehidupan kita selama berada di dalam dunia, hari demi hari menjadi orang yang semakin taat kepada Firman Tuhan. Ketika kita semakin taat kepada Tuhan, kita semakin mengerti Kerajaan Allah, semakin menguduskan nama Tuhan, semakin menikmati persekutuan satu dengan yang lain. Mengapa ada orang Kristen kurang bisa bergaul atau bekerjasama dengan orang lain, bahkan sesama saudara seiman? Karena kurang berdoa Bapa Kami. Kiranya Tuhan mengajar kita untuk berdoa sebagaimana yang telah diajarkanNya kepada kita.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© Copyright 2017 Sola Dei Gloria. All Rights Reserved.