Bacaan: II Korintus 4:15-18
Ayat yang sangat unik ini membicarakan kaitan yang begitu jelas antara kehidupan yang diselamatkan dengan pengucapan syukur. Jelas dalam bagian ini ucapan syukur bukanlah sekedar sesuatu yang menyertai kehidupan orang percaya, melainkan bahwa to certain extent, keselamatan dianugerahkan oleh Tuhan agar ucapan syukur semakin melimpah, di atas dunia yang berdosa ini. Menurut surat Roma, ingratitude (tidak tahu berterima kasih) adalah salah satu tanda kekafiran. Mereka yang hidupnya selalu mengeluh dan tidak pernah bersyukur sesungguhnya hidup seperti orang yang tidak mengenal Allah.
Mengapa orang tidak bersyukur? Ada beberapa sebab: Pertama, dia tidak pernah puas dengan apa yang ada padanya. Hidupnya dikuasai oleh filsafat untung-rugi, suatu kehidupan yang berorientasi pada keuntungan pribadi, sehingga sulit bagi orang seperti ini untuk belajar bersyukur. Kedua, dia dijangkiti oleh penyakit mengasihani diri (self-pity). Setiap kesulitan yang dialaminya dalam hidup tidak membawa ke dalam proses pembentukan serta pendewasaan yang sehat, malah sebaliknya semakin menyatakan suatu kehidupan yang sangat mementingkan diri sendiri. Ketiga, dia lupa bahwa pemeliharaan Tuhan dalam hidupnya telah dibuktikan pada masa-masa yang lampau. Dengan demikian ia tidak mengingat segala kebaikan Tuhan yang telah diterimanya. Keempat, hidupnya berorientasi pada solusi permasalahan dan bukannya pada pengenalan akan Allah. Dia baru bisa bersyukur setelah masalah yang dihadapinya sudah berlalu (namun masalahnya, manusia tidak pernah terlepas dari masalah!). Kelima, gagal mengaitkan setiap momen dengan penyertaan serta pemeliharaan Tuhan dalam hidupnya. Ia lebih memikirkan kondisi hidup di sini dan sekarang, sehingga yang dilihatnya semata-mata adalah realita yang tanpa Tuhan (banyak orang percaya, pada saat-saat tertentu hidup tidak berbeda dengan orang ateis!). Keenam, keangkuhan hidup, yaitu memiliki tuntutan serta standard kehidupan yang terlalu tinggi sehingga hidupnya banyak diwarnai oleh kekecewaan karena ternyata ia tidak dapat memperoleh hal tersebut. Ketujuh, ia tidak sadar bahwa sebagai manusia yang berdosa, sesungguhnya tidak berhak untuk mendapatkan kebaikan apapun di dunia ini. Ketidak-tahuan diri ini merusak kepekaan rohaninya, sehingga segala kebaikan yang ia terima selalu ditanggapi dengan sikap taken for granted.
Kegagalan mengucap syukur ini akan membawa kepada kehidupan yang penuh dengan dukacita. Bukan dukacita menurut kehendak Tuhan, melainkan dukacita dunia yang membawa kepada kematian kekal. Dan karena tidak sanggup bersukacita, maka kehidupannya akan menjadi kehidupan yang dingin, tidak sanggup untuk mengasihi sesamanya. Kehidupannya semakin terarah kepada dirinya sendiri. Self-obsession, demikian Luther mengartikan dosa. Orang yang terus hanya melihat dirinya sendiri, sesungguhnya sudah mencicipi apa itu neraka. Kesendirian yang kekal, tidak ada yang mengasihi, tidak ada yang dapat dikasihi. Tanpa ucapan syukur, orang memang masih bisa memiliki suatu konsep akan keberadaan Allah, namun yang dimengerti di dalam pikirannya pasti adalah semacam allah yang tidak mahabaik. Gambaran Allah yang rusak ini pada akhirnya akan melumpuhkan kepenuhan hidup yang sejati, karena kualitas hidup sangat bergantung kepada pengenalan seseorang akan Allah yang sejati. Dan jika ketidak-mampuan untuk mengucap syukur ini terus berlanjut, orang itu akan begitu gampang untuk tidak lagi mempercayai adanya Allah. Dunia ini adalah dunia yang berdosa, penuh dengan kelaliman, ketika seseorang tidak lagi mendapati kebaikan yang dapat dihitungnya, ia akan sulit mempercayai Allah yang masih bertahta dalam segala kemahakuasaanNya. Pada akhirnya ia akan kehilangan pengharapan hidup.
Jika demikian, mereka yang belajar bersyukur adalah orang-orang yang memiliki pengharapan yang sesungguhnya. Bersyukur menimbulkan pengharapan, karena ketika kita mensyukuri kebaikan Tuhan pada waktu-waktu yang telah lewat, iman kita diteguhkan untuk berani memiliki keyakinan bahwa Ia tetap adalah Allah yang sama pada waktu-waktu yang akan datang, Ia akan tetap mengasihi dan memberkati kita. Orang yang tidak mengingat kebaikan Tuhan pada masa lampau, tidak memiliki kekuatan untuk menghadapi hari depan, kecuali dia berjuang dengan kekuatannya sendiri, yang suatu saat akan terbukti sangat terbatas.
Bersyukur menyatakan kecukupan, bahkan kelimpahan hidup. Seseorang hanya mungkin bersyukur ketika ia menyadari bahwa apa yang diterimanya lebih daripada apa yang patut. Kehidupan yang terlatih seperti ini merupakan suatu kehidupan yang sangat bersifat receptive terhadap anugerah Tuhan (saya tidak mengatakan mereka yang tidak bersyukur tidak mungkin menerima anugerah Tuhan lagi, melainkan bahwa orang-orang seperti ini menerima bukan dengan sikap tangan yang terbuka. Mereka sendiri bahkan tidak sadar ketika pemberian itu telah mereka terima). Mungkin saja orang tersebut di hadapan banyak orang adalah orang yang sangat berkekurangan menurut standard dunia, namun sesungguhnya dengan hidupnya yang melimpah dengan ucapan syukur, ia kaya di hadapan Allah.
Dengan kelimpahan hidup, orang tersebut akan digerakkan untuk membagi-bagikan apa yang dia miliki kepada sesamanya. Inilah kelimpahan hidup yang sejati. Ketika kita enggan dan tidak lagi tertarik untuk melayani sesama kita, dapat dipastikan bahwa kehidupan kita tidak dipenuhi dengan ucapan syukur kepada Allah. Maka yang terjadi adalah kemiskinan hidup. Ucapan syukur sebenarnya hanyalah sebuah sikap dan bukan tindakan mengumpulkan bukan? Namun, ia memiliki kekuatan untuk melakukan pembacaan serta penilaian hidup yang lebih tepat, sebagaimana yang dilihat oleh Allah. Apa yang dilihat oleh Allah, bukan oleh manusia, itulah yang benar. Berapa banyak orang yang mengejar kekayaan materi, akhirnya tetap miskin di hadapan Allah? Berapa banyak orang yang hampir dapat dikatakan memiliki segala sesuatu, namun hidupnya sungguh sangat memprihatinkan? Dunia yang berdosa menjanjikan kelimpahan hidup yang semu, bahkan palsu. Sebaliknya dengan sikap bersyukur manusia dicerahkan dari kebutaannya yang disebabkan oleh kegelapan dunia yang terus-menerus mengatakan bahwa kita kurang kaya.
Dengan membagi-bagikan apa yang ada padanya, ia akan semakin diberkati Tuhan. Mereka yang memberi, hidupnya tidak pernah kekurangan, karena Tuhan tidak pernah menuntut seseorang untuk memberikan apa yang tidak ada padanya. Setiap kali seseorang bersyukur ia masih akan melihat ada sesuatu yang dapat ia bagikan kepada sesamanya. Tuhan tidak akan menahan pemberianNya kepada orang tersebut karena ia tahu bagaimana menyalurkannya kepada orang lain. Seperti sebuah mata air yang terus mengalir, demikianlah orang yang hidupnya penuh dengan ucapan syukur.
Sukacita yang penuh akan melimpah di dalam hatinya, ia tidak berkekurangan (Mazmur 23 dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan I shall not want), maksudnya ia menikmati kepuasan dalam hidupnya. Lebih berbahagia mereka yang memberi daripada yang menerima, demikian dikatakan oleh firman Tuhan. Ketika ia selesai melayani, ia masih berada dalam kepenuhan, sebab apa yang diberikannya berasal dari kelimpahan hidup, bukan dari keadaan yang pas. Sukacita lahir dari pengertian yang dalam akan pemeliharan Allah Yang Mahabaik, melihat dengan jelas kehadiran tangan Tuhan Yang Mahamurah di dalam kehidupannya. Sukacita yang sejati selalu berkaitan dengan menikmati hadirat Tuhan, sementara sukacita yang dangkal (yang lebih tepat disebut sebagai kesenangan) sangat bergantung dan dikendalikan oleh mujur-tidaknya keadaan hidup. Kehadiran Tuhan saja cukup untuk menggerakkan hati memiliki sukacita yang dalam. Ketika seseorang bersyukur, ia bukan bersyukur kepada nasib, atau bahkan kepada manusia belaka (yang telah berbuat baik kepadanya, sekalipun ini adalah baik), namun ia terutama bersyukur kepada Allah, dengan demikian memelihara ketajaman pandangannya akan kehadiran Allah dalam hidupnya.
Ucapan syukur ini pada akhirnya membawa kemuliaan bagi Allah. Seseorang yang bersyukur, dalam pengertian yang sebenarnya, sedang mempermuliakan Allah. Di situ ia menyatakan Allah sebagai Allah yang sanggup mencukupi dan memelihara hidupnya, tidak menahan kebaikan untuk diberikan kepada anak-anakNya, dan mengerjakan segala sesuatu untuk demi kebaikan umat ciptaanNya. Bersyukur berarti memberitakan sifat-sifat Allah. Tidak bersyukur pun tidak akan merubah sifat-sifat Allah, namun ketika seseorang bersyukur, ia dipakai sebagai alat yang mulia untuk menyatakan kebenaran akan Allah (the truth of God), bahwa Allah tidak berdusta dan Ia menggenapi apa yang dikatakan dalam firmanNya. Orang yang bersyukur berada di pihak Allah.
Bersyukur juga menolong kita untuk menghadapi, bahkan melampaui keterikatan kondisi fisik yang semakin merosot hari demi hari. Berapa banyak orang tidak sanggup menghadapi kerusakan badani yang begitu nyata terjadi di sekeliling kita? Sebagian orang bahkan berusaha hidup melawan kodrat dengan terus mempercantik dirinya, sekalipun tidak ada lagi yang bisa dihiasi! Manusia memang memiliki natur tidak rela digeser oleh waktu, namun mementingkan kondisi fisik sebagai penyataan ketidak-relaan tersebut sungguh merupakan suatu hal yang sangat konyol. Paulus sebaliknya tidak menjadi gusar dengan hal tersebut, karena dia tahu dengan pasti bahwa manusia batiniahnya semakin dibaharui. Kekuatan ucapan syukur akan mengalihkan pandangan manusia memperhatikan apa yang tidak perlu dikuatirkan.
Bahkan penderitaan yang dialami pada saat sekarang, sekalipun sangat real dan bukan merupakan sebuah sandiwara, diimbangi dengan kepastian yang lebih besar akan kemuliaan kekal yang akan datang. Dengan kata lain, kehidupan yang bersyukur membawa kepada kesadaran eskatologis yang sangat kuat. Paulus tidak menjadi lelah dan tawar hati menjalani kehidupan yang seringkali diwarnai dengan kesulitan dan penderitaan ini, karena dia melihat sesuatu yang lebih besar daripada yang terjadi sekarang ini. Tanpa kepastian kemuliaan kekal ini, kehidupan akan terasa sangat melelahkan.
Terakhir, ucapan syukur membawa kita untuk melihat yang tidak kelihatan lebih daripada yang kelihatan, yang kekal daripada yang sementara. Yang kelihatan, meminjam istilah Kant, hanyalah merupakan die Welt der Erscheinung (the world of appearance), tidak mungkin menembusi wilayah esensi. Bahkan sang filsuf pun harus puas dengan apa yang sanggup diperoleh kekuatan rasio yang sangat terbatas. Yang kelihatan hanyalah phenoumena, bukan noumena. Dan yang sementara selalu ada dalam perubahan yang terus-menerus, tidak mungkin manusia berpijak dan meletakkan pengharapannya atas sesuatu yang seperti itu. Keadaan yang terus berubah, suatu problema tua yang tidak pernah berhasil diselesaikan oleh aliran philosophy of becoming maupun philosophy of being, namun yang secara sederhana dijawab oleh firman Tuhan: melampaui kesementaraan, menuju kepada kekekalan, melalui sikap bersyukur.
Kiranya Allah sumber segala berkat, memberikan kepada kita kehidupan yang semakin melimpah dengan ucapan syukur. Terpujilah Tuhan!