Kebudayaan kita merupakan sebuah kebudayaan yang sangat dipengaruhi oleh modernisme dan modernisasi. Kita tahu bahwa salah satu yang menandai jaman modern adalah revolusi industri di mana orang menemukan mesin-mesin industri yang mempermudah hidup manusia. Mesin-mesin ini, sayangnya, beroperasi dengan mengeluarkan suara yang kuat dan membisingkan telinga kita. Sebelum jaman ini orang tidak mempunyai pengalaman mendengar bunyi atau suara yang sedemikian. Pada masa lampau orang memiliki kepekaan sedemikian rupa hingga suara tetesan hujan atau bahkan suara yang dihasilkan ketika seseorang membuka jendela kayu membawa satu nuansa tertentu.[1] Pada masa lampau, bunyi halilintar, di samping juga auman singa, adalah suara terkuat yang dikenal oleh manusia, di mana manusia sendiri tidak dapat melakukan hal itu. Jika manusia mengambil suaranya sendiri sebagai satu patokan, maka guntur pasti merupakan satu pengalaman yang boleh dikatakan bersifat supra-manusiawi atau ilahi. Pada kenyataannya Perjanjian Lama mengenal kemungkinan, bahwa Allah menyatakan diri-Nya dalam guntur atau badai (Mzm 29:2-7; Ayub 38:1dst). Bukankah kepekaan seperti itu sudah menjadi begitu jauh dan asing bagi kita orang modern? Kita sudah terbiasa mendengar bunyi paku bumi, bel mobil dan suara-suara lainnya yang cukup memekakkan telinga.
Orang-orang pada jaman Gereja mula-mula memiliki kepekaan yang sangat tinggi terhadap bunyi atau suara.[2] Kita dapat membayangkan bahwa pada jaman itu transportasi tidaklah semudah jaman kita sekarang. Untuk sebuah kunjungan orang harus menempuh perjalanan kaki yang cukup panjang, tidak jarang memerlukan satu malam untuk menginap di tengah perjalanan. Apa yang ingin dia katakan, telah dipikirkan dengan seksama dan akan dikatakannya secara utuh.[3] Bahkan waktu tidak diukur berdasarkan menit (kuantitatif), melainkan menurut kesempatan mengedipkan mata (Yunani: kairos), dengan kata lain -kualitatif- (band. Pkh 3:1).[4] Kairos sebuah pembicaraan harus digunakan dengan penuh konsentrasi. Orang mendengarkan (listening) lawan bicaranya dengan seksama, dan sebelum berpisah mereka mengulangi dan membuat satu rangkuman atau ringkasan akan apa yang telah dikatakan dan kemudian menanyakan apakah lawan bicaranya telah setuju dan membenarkan isi ringkasan tersebut.Jika memang telah setuju, barulah dia akan mengemukakan jawabannya.[5] Gaya bicara seperti ini bagi kita bisa jadi terkesan bertele-tele atau bahkan membosankan, namun mungkin di lain pihak kita harus membayar mahal dengan kehilangan banyak hal dalam gaya hidup kita sekarang. Di jaman modern hidup kita yang sudah menjadi semakin kompleks menuntut ritme kehidupan yang semakin cepat pula dalam melakukan segala sesuatu, termasuk berbicara, membaca dan lain sebagainya.[6] Sebaliknya orang pada jaman dahulu tidak memiliki cara hidup seperti kita sekarang. Bagi mereka -mendengar- berarti -mendengarkan dengan seksama-, setiap hearing adalah listening, atau dengan lebih tepat: mereka tidak mengenal dikotomi antara hearing and listening. Every listening is a -kairos-. Apakah signifikansi dari konsep ini?
Pertama, kita akan melihat kemungkinan (khususnya dalam konteks pembicaraan tentang ibadah) bahwa suara (terutama dan khususnya -kata-kata-) sebagai satu kairos di mana Tuhan berbicara kepada kita pada saat ibadah.[7] Ini berarti kita belajar untuk menyadari sekaligus menikmati kehadiran Tuhan dalam keseluruhan ibadah.
Kedua, pembebasan terhadap dikotomi hearing and listening akan sekaligus membebaskan manusia dari dikotomi new insight and message. Di mana kehidupan seseorang sudah menjadi begitu tidak terlatih untuk listening, wajarlah jika yang terjadi adalah orang tersebut akan selalu berusaha untuk mencari -new insight-.[8] Mengapa? Karena dia tidak akan sanggup untuk mendengarkan kalimat yang sama pada waktu (bukan saat atau kairos) yang berbeda. Orang itu tidak akan sanggup mendengarkan perkataan-perkataan -klise-, yaitu kalimat yang sudah sering diucapkan orang di mana-mana, karena orang sudah banyak -mendengar- kalimat-kalimat tersebut. Seolah-olah jika Tuhan mau memberkati maka Dia harus selalu membukakan -a new insight- atau manusia tidak akan mendapat berkat apa-apa. Orang seperti demikian (mungkin juga kita) tidak memiliki konsep waktu sebagai kairos dan karena itu pula kurang mengenal konsep message.
Mengapa kalimat yang sama diucapkan oleh orang yang berbeda bisa memiliki pengaruh atau kuasa yang berbeda? Kadang kita merasa satu kalimat adalah -klise- (entah kita yang mendengarkannya atau kita yang mengatakannya), sementara pada lain kesempatan (baca: kairos, bukan waktu) kalimat yang sama persis diucapkan dan bergema dengan penuh kuasa. Apakah ini hanya merupakan kesalahan retorik belaka, atau adakah sesuatu yang lain di balik -fenomena- ini?
Sekali lagi ini tergantung pada konsep kita, apakah tatkala kita mendengarkan atau berbicara kita melihatnya sebagai satu saat (kairos) untuk listening (bukan sekedar hearing atau mendengar sepintas lalu) sebuah message (yang tidak harus selalu merupakan -new insight-) yang Tuhan hendak sampaikan bagi kita. Martyn Lloyd-Jones dalam bukunya Preaching and Preachers mengutip seorang gembala Puritan kenamaan yaitu Richard Baxter yang mengatakan:
I preached as never sure to preach again
And as a dying man to dying men.
Inilah sebuah kedalaman pengertian akan kairos!
[1] Pengalaman seperti ini sebenarnya tidak juga sepenuhnya asing bagi kita orang modern, namun sayangnya pengalaman tersebut hanya mewarnai masa kecil kita, di mana -filter- atau seleksi terhadap bunyi-bunyi yang kita dengar belum sepenuhnya terbentuk seperti halnya pada orang yang sudah dewasa.
[2] Kita juga mengetahui bahwa kebudayaan Ibrani berbeda dengan kebudayaan Yunani: mereka lebih dekat kepada tradisi aural daripada tradisi tulisan.
[3] Sekali lagi kita harus membuang gambaran kita sekarang dengan adanya pos dan telefon yang memungkinkan gaya bicara terburu-buru.
[4] Dalam bahasa Indonesia kita mengenal istilah -sekejap mata- (Jerman: Augenblick; Belanda: Oogenblick).
[5]Thomas Pola, -Das Wort in der Antike- dalam Theologische Auseinandersetzung mit dem Denken unserer Zeit, ed. Michael Dieterich, Siegfried Jahn, Wilfried Veeser, Stephan Zehnle. (Neuhausen-Stuttgart: Haenssler-Verlag, 1985).
[6] Bahkan sekarang orang bersedia membayar mahal untuk sebuah kursus cara membaca cepat, bukan lagi kata per kata, melainkan dengan melihat paragraf per paragraf dan memaksimalkan kemampuan otak untuk menyusun kata-kata yang kita lihat dengan cepat menjadi satu kalimat yang memiliki arti. Namun lagi-lagi cara atau metode seperti ini semakin menjauhkan kita dari kebudayaan orang kristen pada abad mula-mula. Memang tidak mungkin bagi kita untuk mengimitasi seluruh cara hidup orang kristen abad mula-mula, namun perlu bagi kita untuk mempertimbangkan (dengan gaya hidup kita sekarang) kerugian-kerugian yang kita alami karena perbedaan tersebut dan bagaimana cara kita mengatasinya.
[7] Sayangnya pengertian seperti ini pada jaman kita sekarang akan dianggap sebagai satu kelainan jiwa yang disebut -paranoid-. Bandingkan dengan kisah pertobatan Augustinus di mana dia mendengar seorang anak kecil yang sedang bermain mengatakan kalimat -ambillah, bacalah- yang mendorong dia untuk membuka Kitab Roma dan menemukan perkataan Tuhan secara pribadi baginya. Bukankah pengalaman Augustinus itu akan dapat dianggap sebagai satu gejala paranoid pada jaman ini?
[8] Bandingkan dengan kecenderungan orang-orang Atena di jaman Paulus yang -tidak mempunyai waktu untuk sesuatu selain mendengar segala sesuatu yang baru- (Kis 17:21). Sekalipun tentu saja tidak salah, namun tampaknya tradisi -new insight- ini lebih berasal dari warisan filsafat Yunani (baca: filsafat sekuler) daripada tradisi Ibrani/Alkitab yang lebih menekankan -message-.
Billy Kristanto