Pada Mulanya Allah Menciptakan Langit dan Bumi
Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi (Kej. 1:1).
Begitu sederhananya ayat pertama dari Kitab Suci yang kita percaya. Permulaan Kitab Kejadian tidak memberikan argumen yang panjang lebar tentang mengapa Allah itu ada. Sebaliknya, keberadaan Allah merupakan asumsi dasar yang tidak perlu dipersoalkan lagi. Di tengah-tengah dunia yang memperdebatkan apakah Allah berada atau tidak berada, Kitab Kejadian langsung memulai dengan Allah, Pencipta langit dan bumi. Kitab Kejadian adalah kitab asal-usul (genealogi): baik asal usul bangsa Israel (cerita Abraham, Ishak dan Yakub) maupun juga akhirya asal usul seluruh umat manusia. Manusia tidak mungkin mengerti keberadaannya sekarang tanpa mengetahui asal usulnya. Alkitab mengatakan bahwa manusia, ya, seluruh alam semesta itu diciptakan.
Apa artinya langit dan bumi ini diciptakan? Yang pertama yaitu bahwa ciptaan ini memiliki arti dan tujuan yang diberikan oleh Penciptanya. Dengan kata lain, ciptaan ini tidak perlu mencari-cari arti dan tujuan dari dalam dirinya sendiri. Arti dan tujuan telah dibubuhkan oleh Sang Pencipta. Dunia ini tidak tercipta secara kebetulan dan acak, melainkan terencana dengan baik. Alangkah melelahkan hidup yang masih harus bergumul untuk mencari arti dan tujuan. Sebaliknya, Kitab Kejadian mengatakan bahwa manusia diciptakan untuk menghidupi arti yang diberikan oleh Allah yaitu menjadi wakil Allah dalam dunia untuk menguasai ciptaan yang lebih rendah dan mengelolanya. Namun kenyataannya manusia lebih suka menguasai sesamanya, bahkan dikuasai oleh ciptaan yang lebih rendah. Dalam Kejadian 11 dikatakan bahwa manusia malah berusaha untuk mencari nama (Kej. 11:4). Bukankah Allah telah memberi nama Adam bahkan memberinya kuasa untuk menamai ciptaan yang lebih rendah? Namun manusia lebih suka mencari nama bagi mereka sendiri daripada menerima nama yang diberikan oleh Allah.
Kedua, menarik bahwa penulis Kitab Kejadian agaknya kurang tertarik untuk menceritakan penciptaan dari tidak ada menjadi ada (creatio ex nihilo). Tentu, kita percaya bahwa Alkitab memang mengajarkan keterciptaan dari ketiadaan menjadi ada, sebab jika tidak Allah bukanlah satu-satunya yang Mahakekal. Paulus mengatakan bahwa Allah “menjadikan dengan firman-Nya apa yang tidak ada menjadi ada” (Roma 4:17). Namun berbeda dengan tradisi creatio ex nihilo Paulus, Kitab Kejadian menceritakan konsep penciptaan dari keadaan kekacauan menuju kepada keteraturan. Dalam kuasa penciptaan-Nya, Allah mengalahkan kuasa kekacauan yang dalam bahasa ciptaan dilambangkan dengan samudera raya dan air. Allah bukan hanya menciptakan dari tidak ada menjadi ada, melainkan juga menciptakan dalam pengertian membuat apa yang kacau menjadi teratur. Allah memisahkan terang dari gelap sehingga keduanya tidak tercampur secara kacau. Darat dan laut juga dipisahkan-Nya. Sebagaimana dalam ciptaan, kehidupan kita juga dikehendaki Allah berada dalam keteraturan penempatan yang dilakukan Allah.
Yang ketiga, keterciptaan berarti keterbatasan. Natur keterbatasan adalah berkat bagi umat manusia karena justru melalui itu ia akan belajar untuk hidup saling bergantung dan saling melengkapi. Keterbatasan juga mengingatkan kita bahwa kita tidak dapat bekerja seorang diri, bahwa tidak semua hal adalah tanggung jawab dan bagian kita. Dalam Kejadian 3 sayangnya dicatat bahwa manusia tidak mau menerima keterbatasan ini. Ia ingin menjadi seperti Allah. Godaan untuk menjadi tidak terbatas selalu membawa manusia bukan pada keberhasilan yang lebih tinggi melainkan kejatuhan yang dalam! Dalam pemberontakannya melawan Allah akhirnya manusia kehilangan arti dan tujuan hidupnya. Sebaliknya, ketika natur keterbatasan ini dihayati, manusia akan menjadi makhluk yang bergantung kepada Pencipta-Nya dan karena itu ia memiliki relasi dengan Allah. Pengertian keterbatasan diri juga akan membawa manusia untuk berelasi dengan sesamanya. Dalam dunia modern banyak cerita orang-orang ‘sukses’ yang bisa memamerkan pencapaian ini dan itu namun ironisnya sekaligus berada dalam keadaan sangat miskin relasi. Orang-orang seperti ini cenderung menilai dirinya serba bisa, ya, nyaris tidak terbatas, dan karena itu ia cenderung percaya bahwa ia tidak membutuhkan sesamanya. Memang, ada kekuatiran yang bisa muncul ketika kita menghayati keterbatasan kita. Namun justru di sinilah keindahannya, yaitu ketika kita bisa mempercayai Pencipta kita yang tidak terbatas yang akan memelihara kehidupan kita.
BK