
Debora dan kepemimpinan seorang perempuan
Bacaan: Hakim-hakim 4:1-24
Cerita tentang Debora yang menjadi hakim di Israel merupakan suatu cerita yang menimbulkan banyak pertanyaan klasik tentang apakah Alkitab memang memberikan ruang untuk kepemimpinan seorang perempuan. Hal ini menjadi sulit jika dibandingkan dengan tulisan Paulus yang mengatakan bahwa “perempuan-perempuan harus berdiam diri dalam pertemuan-pertemuan jemaat” (1 Kor 14:34). Beberapa penafsir modern mengatakan bahwa tulisan Paulus ini kontekstual dan bukan universal. Namun bagaimana pun Alkitab agaknya memang mengajarkan adanya ordo ciptaan: laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka, dan bukan sebaliknya. Apakah kepemimpinan Debora merupakan suatu perkecualian atau sebuah cerita yang biasa saja?
Ketika kita membaca Alkitab memang tampaknya menggambarkan ketidak-mampuan kepemimpinan laki-laki di zaman itu. Hakim-Hakim 5:7 misalnya mencatat: Penduduk pedusunan diam-diam saja di Israel, ya mereka diam-diam, sampai engkau bangkit, Debora, bangkit sebagai ibu di Israel. Hakim-Hakim pasal 5 ini merupakan suatu doksologi, pujian kepada Allah sehingga kita boleh berasumsi bahwa di sini tidak ada pemuliaan manusia, pemuliaan seorang Debora yang tentunya akan berbenturan dengan natur doksologi. Ini harus kita terima sebagai suatu fakta yang benar. Dan prinsip inilah yang dapat kita pakai untuk menguji apakah kepemimpinan seorang perempuan berkenan kepada Allah dan setia kepada Kitab Suci atau tidak.
Debora dibangkitkan oleh Tuhan karena memang semua orang yang lain “diam-diam saja”. Perkecualian ini cukup jelas melatar-belakangi kepemimpinan Debora sebagai Hakim di zaman tersebut. Perempuan yang tidak dapat menempatkan diri akan tetap berusaha untuk memimpin meskipun tidak semua orang “diam-diam saja”. Yang berikutnya: Alkitab mencatat bahwa Tuhan membangkitkan Debora sebagai ibu. Kepemimpinan seorang ibu dengan kemuliaan dan keagungan seorang ibu, tetapi bukan seorang bapak. Seorang ibu memimpin membesarkan anak-anaknya dengan cinta kasih, kelemah-lembutan, air mata, dukacita dan bukan dengan kemarahan, ketegasan, dominasi, otoritas dan wibawa seorang pria. Debora tidak memiliki yang kedua ini. Dengan kata lain, Debora dalam kepemimpinannya tetap menjalankan peran seorang wanita dalam tatanan ordo ciptaan sebagaimana Tuhan tetapkan. Kaum perempuan yang mengambil alih kepemimpinan seorang laki-laki dengan cara tampil sebagai laki sesungguhnya bukan mempermuliakan Tuhan tapi mempermalukan Tuhan dan tidak memberikan kesaksian yang baik.
Bahkan ketika berhadapan dengan Barak pun (yang memang agaknya memiliki kepemimpinan yang kurang), Debora hanya mengingatkan, “Bukankah TUHAN, Allah Israel, memerintahkan demikian: Majulah, bergeraklah menuju gunung Tabor dengan membawa sepuluh ribu orang bani Naftali dan bani Zebulon bersama-sama dengan engkau, dan Aku akan menggerakkan Sisera, panglima tentara Yabin, dengan kereta-keretanya dan pasukan-pasukannya menuju engkau ke sungai Kison dan Aku akan menyerahkan dia ke dalam tanganmu.” (4:6-7). Debora tidak berusaha untuk memimpin Barak, sekalipun dia adalah Hakim yang sedang memimpin Israel. Debora membimbing laksana seorang ibu kepada anak-anak yang memang kurang dewasa tapi tidak pernah menjalankan kepemimpinan seorang ayah atau seorang suami. Dari sini kita belajar bahwa banyak kekacauan akan terjadi ketika seorang perempuan memimpin dengan jiwa seorang laki-laki. Pernahkah kita melihat seorang perempuan mengambil tugas berat seperti memikul batu-batu yang berat sebagaimana biasa dilakukan oleh laki-laki? Jika ada, apakah pemandangan seperti itu sangat mengesankan sehingga “kita terus harus bilang wow gitu”? Atau justru kita malah akan merasa ini orang yang kasihan, pitiful, mengambil posisi yang seharusnya tidak dia ambil dan dia memaksakan diri untuk menempatinya juga?
Hati-hati dengan pernikahan yang pincang. Pernikahan yang perempuan lebih matang rohaninya daripada suaminya. Nanti sang istri akan sulit menjalankan peran seorang istri. Sebaik-baiknya dia juga akan menjalankan peran ibu (dan bukan istri), belum lagi jika dia gagal menjalankan peran itu dengan baik dia malah akan cenderung mengambil alih posisi kepemimpinan seorang suami dan seorang ayah. Sebuah pernikahan yang sangat melelahkan!
Debora adalah seorang tokoh yang agung, bukan hanya karena kita melihat suatu perkecualian kepemimpinan seorang Hakim perempuan yang ditunjuk oleh Allah sendiri. Melainkan karena dalam kepemimpinannya, dia tetap menjalankan panggilannya sebagai seorang perempuan dan bukan laki-laki. Mari kita belajar menikmati ordo ciptaan yang sudah direncanakan oleh Allah.