Kematian
Memikirkan tentang kematian adalah suatu hal yang seringkali dianggap menakutkan. Filsafat eksistensialisme bahkan mengembangkan suatu pemikiran yang menempatkan Angst zum Tode sebagai suatu tema yang penting. Di satu sisi kita sependapat bahwa mereka yang memikirkan akhir hidupnya (baca: kematian) adalah mereka menyadari eksistensi diri, namun di sisi yang lain, kita tahu bahwa blosse Angst tidak akan memimpin manusia ke mana-mana. Mungkin saja dalam ketakutannya tersebut manusia lalu terdorong untuk mengerjakan pekerjaan yang berarti, namun sekali lagi, ketakutan, bagaimanapun juga, tidak dapat dianggap sebagai kebajikan (Tugend/virtue).
Lalu, apakah mereka yang tidak mempedulikan hari kematiannya, bersikap lebih bijaksana daripada mereka yang ketakutan dan terus-menerus memikirkannya? Sama sekali tidak. Bahkan lebih parah daripada yang pertama. Kitab Suci mengatakan bahwa mereka yang tidak percaya adanya kehidupan setelah kematian, secara konsekuensi logis, boleh mengambil gaya hidup hedonisme dengan semboyannya yang terkenal “laßt uns essen und trinken; denn morgen sind wir tot!” (I Kor 15:32). Kehidupan yang tidak pernah memikirkan keterbatasan kehidupan itu sendiri, akan cenderung membawa manusia untuk hidup mencari kepuasan pribadi. Kepuasan pribadi ini tidak harus selalu dinyatakan dalam gaya hidup pesta pora dan mabuk-mabukan, pergi ke pelacuran dan sebagainya. Pengejaran kepuasan serta kenikmatan pribadi ini mungkin saja mengambil bentuknya dalam kehidupan moral yang tinggi, suka menolong orang lain, menjadi seorang humanist, namun pada akar hatinya adalah mengejar kepuasan diri sendiri.
Daud berdoa kepada Tuhan agar ia diajar bahwa hidupnya memiliki sebuah akhir (Psalm 39:5). Mengapa perlu diajar? Bukankah pengalaman dari sejarah, data empiris sudah dengan begitu gamblang menyatakan bahwa hidup manusia memang memiliki sebuah akhir? Adakah manusia yang begitu keras kepala menolak kenyataan bahwa hidup kita memang suatu saat akan berakhir? Tampaknya tidak banyak orang yang memiliki kenekadan seperti itu. Namun, sesungguhnya yang dimaksud oleh Daud adalah bahwa sekalipun manusia mengetahui bahwa hidupnya memiliki sebuah akhir, namun manusia menghidupinya seolah-olah tidak ada akhirnya. Tidak ada kepekaan akan waktu yang semakin singkat dalam hidup manusia. Dalam keadaan seperti inilah Daud memohon kepada Tuhan agar ia terus diajar bahwa hidupnya suatu saat akan berakhir. Waktu tidak selama-lamanya diberikan kepada manusia. Suatu saat ia harus mengakui, entah dengan rela atau tidak rela, bahwa ia adalah ciptaan yang terbatas, dan bahwa hidupnya tidak sepenuhnya berada dalam kekuasaannya sendiri, ia harus mempertanggung-jawabkan segala sesuatu yang telah dilakukannya selama hidupnya di hadapan Penciptanya. Tanpa pengertian ini (bukan sekedar pengetahuan!) manusia tidak mungkin memiliki tujuan hidup yang benar. Ia boleh memiliki tujuan hidup yang dianggapnya begitu pasti, dan mengejarnya dengan segala kekuatan self-determinasi, namun di hadapan Tuhan sesungguhnya semuanya hampa. Manusia melakukan hal-hal yang menimbulkan Unruhe yang tidak perlu, ia mengumpulkan dengan tidak mengetahui siapa yang kelak akan menikmatinya. Inilah paradoks hidup manusia yang hanya mengejar keuntungannya sendiri. Sesungguhnya, ia berjalan dalam kehidupan yang sangat tidak pasti!
Dalam kegalauan jiwanya, pemazmur belajar untuk tetap berharap kepada Tuhan (ayat 8). Suatu pengharapan yang diteriakkan dari sebuah pengenalan diri serta kebutuhannya yang terdalam, yaitu agar Tuhan membebaskan dia dari segala dosa-dosanya. Kebanyakan manusia hidupnya tertekan karena sakit-penyakit, ekonomi tidak mapan, kurang berhasil dalam menjalin hubungan dengan sesama, study tidak lancar, masa depan tidak jelas dlsb, namun berapa orang yang tertekan seperti Daud, menyadari bahwa problema terbesar dalam hidup manusia bukanlah hal-hal di atas, melainkan kehidupan yang berdosa. Berapa serius dosa di hadapan kita?
Inilah cicipan kematian yang sesungguhnya: hidup dalam dosa. Para eksistensialist seringkali dikuasai oleh ketakutan untuk tidak lagi bereksistensi. Namun kita dapat mempertanyakan “Apa itu eksistensi dan bagaimana bereksistensi?” Sesungguhnya ketika seseorang berbuat dosa, ia menghancurkan eksistensinya dalam pengertian yang paling dalam, karena eksistensi manusia adalah suatu eksistensi yang tidak mungkin tidak harus dikaitkan dengan hubungannya di hadapan Allah (entah hubungan dikasihi-mengasihi, atau menolak-dimurkai). Dengan berbuat dosa manusia merusak hubungannya dengan Allah. Semakin ia tidak suka berhubungan denganNya, semakin ia akan menghancurkan dirinya sendiri. Pertanyaan pertama dalam Heidelberger Katechismus berbunyi “Was ist dein einziger Trost im Leben und im Sterben?” Dijawab, “Daß ich mit Leib und Seele, beide im Leben und im Sterben, nicht mein, sondern meines getreuen Heilands Jesu Christi eigen bin …” Menjadi milik Allah (dan bukan milik sendiri) adalah penghiburan yang terbesar. Alangkah celakanya jika manusia justru berpikir sebaliknya! Perhatikan saja, di manakah ada manusia yang dengan segala keperkasaan yang ada padanya sanggup menguasai maut sehingga ia tidak harus mengalaminya? Jika tidak ada, mengapa banyak orang enggan untuk menyerahkan sepenuhnya hidupnya (dan bukan hanya kematian yang tidak sanggup dikuasainya). Ketidak-berdayaan manusia dalam menghadapi kematian sebenarnya hanya menyatakan hal yang sama terhadap kehidupan.
Kita sekarang berada dalam masa pra-paskah, di mana orang-orang percaya akan merenungkan kembali kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Ia sendiri mati, sama seperti semua manusia yang lain, namun berbeda dari mereka semua, karena Ia sanggup mengalahkan kuasa kematian. Dan Ia berjanji untuk memberikan kehidupan yang kekal bagi mereka yang percaya dalam namaNya. Orang percaya akan tetap mengalami kematian (kecuali Tuhan telah datang kembali sebelum hari kematiannya). Namun ia tidak akan selama-lamanya binasa, bersama dengan Tuhan ia akan dibangkitkan untuk menerima kehidupan kekal di sorga. Dan bukan hanya itu, mereka yang percaya dalam namaNya juga diberi kuasa untuk hidup mati terhadap dosa, terhadap dunia, bahkan terhadap diri sendiri. Kematian ini adalah kematian yang menghidupkan. Sebaliknya, penolakan terhadap kematian ini akan membawa kepada kebinasaan kekal, kematian yang sesungguhnya. Yesus Kristus mengatakan “Barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya” (Luk 9:24). Menyelamatkan hidup justru akan kehilangan hidup, sebaliknya mengorbankannya adalah menyelamatkannya.
Kematian Kristus memberikan kemungkinan kepada manusia untuk tidak hidup bagi dirinya sendiri. Sekalipun Ia tidak berdosa dan tidak harus mengalami maut, namun Ia rela mati karena dosa-dosa umat manusia. KematianNya merupakan penyataan puncak ketaatanNya yang sempurna kepada Allah, tidak ada suatu pun yang Dia pertahankan bagi diriNya sendiri. Ia telah menyerahkan segala sesuatu yang dapat diberikan, bahkan nyawaNya sendiri. Kematian inilah yang mendahului kebangkitan dan hidup.
Begitu banyak orang percaya yang kehidupannya tidak berada dalam kepenuhan kuasa kebangkitan, karena menolak kuasa kematian yang harus bekerja terlebih dahulu. Tanpa kematian terhadap diri kita sendiri, tidak ada gunanya untuk mengharapkan pekerjaan kuasaNya yang dahsyat. Pergumulan kita lebih merupakan pergumulan untuk suatu kehidupan yang menyangkal diri, daripada kehidupan yang mendapatkan kuasa Tuhan. Persekutuan dalam penderitaan Kristus, demikianlah yang terus dikejar oleh Paulus, dan dia tidak berpendapat telah memperolehnya, maksudnya perjalanan yang harus ditempuh masih merupakan suatu proses yang panjang, dia tidak berhenti bergumul untuk mengejar panggilan Tuhan. Saya percaya setiap orang yang membaca tulisan ini, atasnya Tuhan memiliki suatu rencana. Rencana itu tersembunyi, kita bahkan tidak berhak untuk mengetahuinya, namun ada satu hal yang kita boleh, bahkan harus mengetahuinya, yaitu bahwa Tuhan menghendaki kita untuk mati dan disalibkan bersama-sama dengan Dia. Di sinilah letak kepenuhan hidup yang sesungguhnya