Bacaan: Markus 1:35-38
Hari ini kita ingin memikirkan dan merenungkan saat teduh dari perspektif doktrinal (systematic-theological). Saat teduh sebagai topik doktrinal? Bukankah ini merupakan suatu kekeliruan kategoris? Saat teduh biasanya selalu dibahas dalam Theologi Praktis atau lebih detailnya dalam wilayah Spiritualitas. Hal yang sama meneguhkan hal ini yaitu: boleh dikatakan tidak ada buku theologi sistematis yang membahas mengenai saat teduh, karena itu bukan dianggap wilayah pembahasan doktrinal. Pendapat-pendapat seperti ini tentu saja memang sesuai dengan realita, bahkan juga dalam batasan tertentu dapat dikatakan ada benarnya. Namun, yang tidak benar adalah keterpisahan (fragmentasi) wilayah doktrinal dan wilayah spiritualitas. Ini yang tidak seharusnya diterima oleh orang percaya. Sekalipun benar, keduanya (doktrin dan spiritualitas) memiliki kekhususan wilayah masing-masing, namun bukan berarti keduanya tidak perlu memiliki interaksi satu dengan yang lain. Tidak ada doktrin yang tidak berdampak bagi spiritualitas, demikian juga tidak ada spiritualitas yang tidak memiliki doktrin di dalamnya.
Kita dapat mendaftarkan topik-topik yang dianggap penting dalam wilayah theologi sistematis: doktrin Allah, doktrin Allah Tritunggal, doktrin penciptaan, doktrin manusia, doktrin Kristus, doktrin Roh Kudus, doktrin keselamatan, doktrin gereja, doktrin akhir jaman. Kita dapat menyoroti saat teduh dari perspektif doktrin-doktrin besar di atas. Karena keterbatasan tempat dan waktu, kita tidak akan menyoroti dari semua doktrin namun hanya akan memilih beberapa di antaranya.
Kita mulai dari doktrin/theologi penciptaan saja. Allah menciptakan langit dan bumi dan pada hari yang ke-tujuh Ia berhenti dari segala pekerjaan penciptaan-Nya (Kej. 2:3). Beda Allah Sang Pencipta dengan manusia adalah: Allah berhenti pada hari ke-tujuh itu setelah mencipta selama enam hari, sementara manusia segera masuk (baca: menikmati) hari ke-tujuh itu karena dia diciptakan pada hari ke-enam. Apa yang bagi Allah adalah hari perhentian untuk merayakan pekerjaan-Nya, merupakan suatu awal bagi umat manusia. Di sini ada struktur yang penting dari doktrin/theologi penciptaan: manusia memulai hidupnya dengan terlebih dahulu menikmati istirahat yang disediakan oleh Allah, yaitu hari di mana ia boleh datang beribadah menghadap hadirat Tuhan. Kita bukan membutuhkan istirahat setelah bekerja, melainkan bekerja setelah mendapatkan istirahat yang cukup. Struktur ini merupakan point penting dan merupakan konsep theologi anugerah sebagaimana sangat ditekankan dalam theologi Reformed. Pekerjaan atau karya manusia haruslah merupakan suatu ekspresi keluar dari apa yang telah terlebih dahulu diterimanya dari Tuhan (yaitu kekuatan rohani yang diperolehnya pada saat ia menikmati istirahat dalam hadirat Tuhan).
Saat teduh sangat berkaitan dengan konsep hari istirahat ini. Saat teduh juga memberikan kita kekuatan untuk menghadapi hari yang akan kita lalui bersama dengan Tuhan. Ada perbedaan kekuatan rohani dari seseorang yang mengekspresikan dirinya dari suatu aliran yang keluar dari kuasa kehadiran Tuhan dalam hidupnya dengan mereka yang mengekspresikan diri juga namun dari kekuatan alamiahnya sendiri. Jenis yang terakhir ini bukannya tidak bisa bekerja banyak, bukannya tidak mungkin menjadi orang yang sangat sibuk, bukannya tidak mungkin mencapai ini dan itu, namun seringkali ada kegelisahan yang menyertainya karena aliran hidupnya bukan berasal dari minyak sukacita yang dialirkan oleh Tuhan sendiri.
Sekarang kaitan saat teduh dengan doktrin keselamatan. Adalah merupakan suatu kerugian jika kita hanya mengerti urusan keselamatan hanya dengan kategori belumdiselamatkan atau sudah diselamatkan. Dualisme seperti ini, sekalipun tentu saja ada (dan banyak!) benarnya, namun sesungguhnya acap kali mereduksi (mempersempit) pengertian doktrin keselamatan. Kaum Injili yang hanya melihat urusan keselamatan hanya dalam perspektif apakah seseorang sudah atau belum diselamatkan saja juga akan mencurahkan energinya semata-mata menantang orang dari belum menuju sudah. Sesudah itu apa? Sesudah itu ya sudah. Padahal kenyataannya bagi yang sudah pun juga masih banyak belum-nya: belum luas hati, belum mengerti perlunya pengorbanan, belum bisa taat, belum mengasihi orang lain dengan tulus, belum mirip Kristus. Di sini kita melihat bahwa diselamatkan pun bukan hanya dimensi momen (kapan diselamatkan) melainkan juga proses (keselamatan yang semakin teguh). Konsep yang terakhir ini khususnya banyak dipikirkan oleh theolog seperti Jean Calvin namun sayangnya banyak kaum Injili (bahkan Reformed) yang agaknya lebih berkiblat kepada theologi pertobatan Pietisme dari Halle (Francke) yang lebih menekankan momen pertobatan. Dari perspektif theologi biblika, secara gamblang dapat dikatakan ada perbedaan penekanan dalam konsep union with Christ a la Paulus dan a la Yohanes. Paulus lebih menekankan doktrin keselamatan yang menekankan kesempurnaan korban Kristus (meskipun bukan tanpa konsep gradual) sementara Yohanes lebih menekankan partisipasi orang percaya di dalam Kristus (meskipun bukan tanpa pemikiran kesempurnaan korban Kristus). Sayang jika kita hanya menekankan satu bagian sementara kehilangan bagian yang lain.
Karena bagi orang yang sudah diselamatkan pun masih banyak wilayah yang belum sempurna, maka Allah memberikan kita apa yang disebut dengan alat-alat/saluran anugerah (means of grace). Yang dimaksud dengan alat-alat anugerah misalnya seperti doa dan sakramen. Dalam batasan yang luas kita dapat menggolongkan saat teduh juga sebagai alat anugerah. Alat-alat anugerah ini bukanlah yang menyelamatkan kita (yang menyelamatkan kita adalah Kristus yang mati dan bangkit), namun keselamatan yang kita perolehbukanlah tanpa alat-alat anugerah. Kita memang bukan diselamatkan oleh doa atau oleh sakramen, namun orang yang percaya bukan menghayati keselamatannya tanpa doa dan sakramen. Ada pandangan yang fatal dan keliru jika orang berpendapat bahwa mereka yang menekankan pentingnya alat-alat anugerah sedang mengaburkan keselamatan hanya oleh anugerah Tuhan. Sebaliknyalah yang benar: justru karena saya mengerti saya diselamatkan oleh anugerah Tuhan saja, maka saya dengan bebas dapat menggunakan alat-alat anugerah-Nya karena saya tahu bukan alat-alat itulah yang menyelamatkan melainkan anugerah-Nya saja.
Kita mengambil contoh sederhana saja: ketika membersihkan piring kotor kita menggunakan air yang dialirkan dari pipa. Yang membersihkan piring kotor itu tentunya adalah air dan bukan pipa. Namun pengertian bahwa airlah yang membersihkan piring kotor tidak berarti saya tidak membutuhkan pipanya. Dan ketika kita menekankan perlunya dan pentingnya pipa, tentu saja ini juga tidak berarti bahwa saya sedang menyangkali bahwa airlah yang sebenarnya membersihkan piring yang kotor. Hal yang sama juga berlaku bagi alat-alat anugerah. Melalui alat-alat/saluran anugerah itu saya memperoleh anugerah Tuhan yang olehnya (anugerah) saya diselamatkan.
Karena itu kita juga bisa menekankan pentingnya saat teduh dalam konteks alat/saluran anugerah ini. Saat teduh bukanlah yang memberkati kita, yang memberkati kita adalahkehadiran Tuhan dalam Firman-Nya yang kita peroleh melalui saat teduh itu. Dalam pemikiran Calvin, alat-alat anugerah mendapat perhatian atau penekanan yang besar. Dan tentu saja Calvin bukan menemukan pengertian ini dari dirinya sendiri melainkan dari mempelajari pergumulan orang-orang yang sebelum dia dan dari Kita Suci. Saat teduh sangat berkaitan dengan konsep keselamatan karena kita tahu mereka yang diselamatkan adalah mereka yang dipilih, yang disucikan dan dipisahkan (consecrated) bagi suatu tujuan yang mulia. Konsep konsekrasi ini juga hadir dalam saat teduh: kita memisahkan waktu dan tempat khusus bagi kehadiran Tuhan. Ini tidak berarti bahwa Tuhan tidak Mahahadir dalam waktu atau tempat yang lain, melainkan melalui saat teduh kita secara khusus menghayati kehadiran Tuhan (yang hadir dalam Firman-Nya).
Mereka yang tidak mengerti konsep kekhususan ini juga pada dasarnya tidak akan mengerti mengapa harus beribadah pada hari yang khusus dan bukan setiap hari atau sembarang hari. Mengapa beribadah di Bait Allah dan bukan pada sembarangan tempat. Mengapa orang Israel begitu terpukul pada saat pembuangan? Mengapa tidak beribadah di sembarang tempat saja, toh Tuhan hadir di mana-mana, mengapa harus begitu susah jika tidak beribadah di Bait Allah? Jawabannya sederhana: karena mereka mengerti ada konsep kehadiran Allah secara khusus dalam Bait-Nya. Mereka yang tidak mengerti pentingnya yang paticular (kehadiran Allah secara khusus) akan sulit untuk menghayati yang universal(kemahahadiran Allah di segala tempat dan waktu).
Melalui saat teduh kita menikmati secara konkret persekutuan dengan Allah dan Kristus-Nya. Dalam doktrin keselamatan kita menekankan union with God atau union with Christmaka dalam saat teduh kita belajar untuk menghayati kesatuan dengan Allah dan dengan Kristus itu. Melalui saat teduh kita mengalami transformasi dan visi hidup yang senantiasa jelas (Markus 1:38). Kita tidak gampang diombang-ambingkan oleh tuntutan manusia (Markus 1:36-37). Yesus sendiri yang adalah Allah tetap menyisihkan (consecrate) waktu dan tempat yang khusus (Markus 1:35). Jika Yesus yang sempurna tetap menyediakan waktu teduh di hadapan Bapa-Nya, terlebih kita manusia yang memiliki segudang kelemahan, kita jauh lebih membutuhkan saat-saat yang khusus ini untuk menghayati persekutuan kita dengan Bapa.
In Gods presence,
Billy Kristanto