Bacaan:
Roma 1:17
Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: “Orang benar akan hidup oleh iman.”Roma 1:12
yaitu, supaya aku ada di antara kamu dan turut terhibur oleh iman kita bersama, baik oleh imanmu maupun oleh imanku.I Yohanes 5:4
sebab semua yang lahir dari Allah, mengalahkan dunia. Dan inilah kemenangan yang mengalahkan dunia: iman kita.Mat 17:20b; Lukas 17:6
Sebab Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana, – maka gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu.
Ayat yang ditulis dalam Roma 1:17 adalah kutipan Paulus akan perkataan dari Habakuk di dalam Perjanjian Lama. Persoalan iman yang dipergunakan ulang oleh Paulus dalam konteks Perjanjian Baru lalu diaplikasikan lagi oleh Martin Luther di dalam konteks waktu Tuhan memakai dia untuk memimpin kebangunan rohani yang mulai dari tempat yang kecil lalu bisa mempengaruhi sampai seluruh dunia. Iman di dalam tradisi gereja protestan, Lutheran, termasuk juga Calvinist (Reformed), memiliki tempat yang sangat penting (kalau tidak mau dikatakan central). Dan di dalam bagian ini kita melihat dasar Alkitab sendiri dari beberapa ayat yang kita baca baik dari I Yohanes 5:4, overcome the world yaitu iman kita. Lalu di Roma, Paulus mengatakan, orang yang benar (the righteousness) akan hidup oleh iman. Dan iman itulah yang seharusnya saling meng-encourage satu dengan yang lain di dalam kehidupan komunitas Kristen. Pada waktu kesulitan terjadi di dalam kehidupan manusia, kita juga bisa saling men-discourage. Bukan saling meng-encourage malah saling meng-discourage karena kita terlalu pesimis, hopeless. Ceritanya mau sharing pergumulan tapi akhirnya saling meng-discourage satu dengan yang lain, akhirnya semua orang makin discourage, dan berkata, ‘memang kita ada di dalam keadaan seperti ini, mau apa lagi?’ Tidak ada pembicaraan yang konstruktif, tidak ada pembicaraan yang membangun, tidak ada pembicaraan yang menggairahkan orang untuk terus mengikut Tuhan. Kita lihat keadaan yang makin suram, di dalam dunia pemikiran, landscape juga dark, gelap. Bagaimana pemimpin-pemimpin gereja di dalam pelayanan mereka tidak memberikan suatu pencerahan? Bagaimana bisa ada teladan untuk mengikut Kristus di dalam kehidupan yang memang makin lama akan makin sulit ini? Di Indonesia apalagi, dulu gempa, flu burung, lumpur Sidoarjo, sekarang kebakaran. Kebakaran ini yang mungkin terasa di sini (Singapore), tapi tentang lumpur Sidoarjo, mungkin kita tidak peduli. Sidoarjo itu urusan yang punya keluarga di Sidoarjo dan sekitarnya, kita aman-aman saja di sini. Flu burung? Kita sudah bebas dari dulu, Singapore clean, banyak stiker di mana-mana. Indonesia masih belum ada pengontrolan yang bagus. Tapi kebakaran, mau tidak mau kita harus teriak karena kita ikut kena. Kalau kita kena maka kita mulai sedikit memikirkan, sedikit berdoa, sedikit ikut campur karena turut terusik!
Inilah keadaan yang memang sudah dinubuatkan dalam kitab Wahyu, dunia ini makin lama akan makin decline. Makin turun dan makin rusak, dan sekarang bagaimana kita sebagai orang Kristen menyatakan keberbedaan kita yang percaya dan beriman bahwa Allah itu ada – lebih daripada setan yang juga punya iman bahwa Allah ada – melainkan juga iman bahwa Allah itu Maha Kuasa dan Maha Baik. Tidak seperti orang-orang yang suka mempertanyakan, Tuhan itu Maha Kuasa tapi tidak Maha Baik atau tidak Maha Kuasa tapi Maha Baik makanya ada penderitaan, dan selalu berputar-putar di situ. Justru panggilan kita adalah percaya Tuhan itu Maha Kuasa dan Maha Baik di tengah-tengah keadaan seperti ini, keadaan yang secara manusiawi sangat tidak menjanjikan ini. Di situ ketekunan kita di dalam beriman diuji. Maka Yohanes mengatakan, inilah yang mengalahkan dunia: iman kita, bukan didasari pandangan theological landscape, atau ecological landscape, atau economical landscape, atau political landscape, yang semuanya suram. Bagaimana kita sebagai orang Kristen bisa menyaksikan suatu kehidupan yang beriman di dalam pengertian Alkitab, tidak pesimis, tidak hopeless, tidak discourage, tidak hambar, tidak acuh tak acuh? Enthusias untuk Tuhan. Makin lama makin sulit dan dianggap seperti orang aneh tapi Tuhan memberikan ini sebagai satu tuntutan karakteristik yang mesti ada di dalam diri orang Kristen yang bertumbuh. Satu kalimat yang mengerikan yang dikatakan oleh Tuhan Yesus waktu berbicara kepada murid-murid-Nya mengatakan, „Akan tetapi, jika Anak Manusia itu datang, adakah Ia mendapati iman di bumi?” (Luk 18:8) Iman menjadi sulit didapatkan, rare commodity – barang yang sangat langka. Kita tidak usah berbicara kasih – terlalu tinggi bicara kasih – anyway nanti semuanya akan menjadi hambar, orang semua akan jadi lebih egois. Iman saja dulu, adakah Tuhan akan menemui itu pada akhir zaman?
Alkitab mencatat bahwa menjelang akhir masa kepemimpinan Musa, ada suatu krisis yang terjadi dalam umat Israel. Yaitu sedikit sekali di antara orang-orang Israel yang ditemukan beriman. Kaleb dan Yosua, hanya 2 orang itu saja dari generasi lama yang beriman, yang lain semua akhirnya tidak diijinkan masuk ke dalam tanah perjanjian. Iman bukan sekedar persoalan pelayanan, melainkan persoalan hidup mati. Iman itu adalah persoalan masuk ke tanah perjanjian atau tidak diijinkan masuk ke tanah perjanjian. Bukan saja urusan penyaringan di dalam pelayanan, itu persoalan hidup mati, yang tentunya harus dikaitkan dengan konsep pelayanan. Sayangnya yang terjadi di dalam banyak teologi Injili (jangan-jangan termasuk teologi yang notabene mewarisi Luther dan Calvin), karena adanya pembedaan yang terlalu tajam antara justification (pembenaran) dan sanctification (pengudusan), di mana pembenaran bukan pengudusan dan pengudusan bukan pembenaran, kita akhirnya menarik garis (draw a line) yang sangat jelas supaya kita tidak mengacaukan keduanya. Motivasi awal sangat bisa dimaklumi, tapi – karena garisnya terlalu jelas – garis itu makin lama makin membesar ,membengkak. Yang terjadi akibatnya adalah orang percaya hanya menempatkan imannya dalam wilayah justification. Waktu dia melayani, dia tidak berdasarkan Sola Fide, tapi yang lain, demikian waktu dia study dan bekerja. Sola Fide simply doesn’t work. Itu hanya di dalam urusan justification. Kalau kita bicara tentang keselamatan, pasti saya tidak bisa menciptakan keselamatan sendiri, saya harus terima anugrah sepenuhnya, maka saya beriman. Tapi kalau perjalanan setelah itu di dunia yang gelap, sepertinya teori Marx dan Freud, bahwa agama itu untuk orang-orang cengeng, yang sedikit-sedikit bergantung, lebih cocok untuk kita. Teori Darwin (The survival of the fittest) tampaknya lebih pas untuk pelayanan, itu lebih cocok diterapkan dalam pelayanan daripada Sola Fide! Di dalam justification memang kita rentan/rapuh tapi di dalam kehidupan lain mari kita pakai Freud, Nietzsche, Darwin atau yang lain-lain. Sepertinya teori mereka lebih relevan daripada Alkitab. Ketika kita membatasi iman hanya di dalam bagian justification lalu setelah itu berjalan dengan suatu model kehidupan lain yang bukan Sola Gratia dan bukan Sola Fide, maka terjadilah kerusakan-kerusakan di dalam gereja.
Apa sebetulnya iman itu? Kitab Ibrani memberitahukan kepada kita tentang iman. Di situ kita bisa membaca definisi iman, kita bisa melihat contoh-contoh iman, teladan-teladan iman. Iman selalu berkait erat dengan teologia anugrah, yaitu bahwa manusia memang dari dirinya sendiri harus mengakui bahwa keadaannya hopeless – itu sesungguhnya jalan menuju iman. Orang makin hopeless (khususnya terhadap diri sendiri), makin kondusif dan makin memiliki kemungkinan dia mengerti apa itu iman. Memang tidak semua orang hopeless pasti diakhiri dengan beriman, ada juga orang hopeless akhirnya jadi makin depresi lalu bunuh diri. Ada yang hopeless lalu selalu menyalahkan orang lain. Ada berbagai variasi kemungkinan tentang orang yang hopeless. Tapi ada suatu jalan yang menurut kehendak Tuhan, ketika seseorang hopeless melihat dirinya sendiri, di situ dia bisa belajar mengerti apa itu iman yang sejati. Spurgeon pernah mengatakan (kutipan bebas) bahwa sebelum seseorang dilemparkan sampai titik terendah dalam kehidupannya, he knows nothing about God’s grace. Kehancuran dapat membawa seseorang bisa mengerti apa itu anugrah (bdk. kalimat Firman Tuhan yang mengatakan bahwa Tuhan dekat dengan orang yang remuk/hancur hatinya). Tuhan dapat menggunakan cara yang tidak nyaman untuk membentuk suatu pengertian iman yang sesungguhnya. Yaitu saat manusia betul-betul berhenti secara total berharap akan dirinya sendiri.
Bahkan bagian ini kita jumpai juga dalam konteks pelayanan rohani, suatu penghancuran rencana pelayanan di dalam kehidupan seseorang untuk masuk ke dalam visi yang sesungguhnya, yang benar-benar dari Tuhan. Ini terjadi di dalam kehidupan orang seperti Musa yg mempunyai ‘visi’ untuk membebaskan bangsa Israel, yang diijinkan hancur oleh Tuhan pada usianya ke-40. Dia salah karena memakai cara, bijaksana, kekuatannya sendiri sehingga akhirnya Tuhan mengijinkan kegagalan tersebut dialaminya. ‘Visi’ itu hancur sedemikian rupa sehingga kita dapat mengatakan bahwa dia kemungkinan tidak ada pikiran lagi untuk membebaskan bangsa Israel, sangat mungkin malah berada dalam trauma atau kepahitan – tidak mau lagi berurusan dengan umat Israel, kapok. Dia hidup bersama Yitro, menikah dengan Zipora, menggembalakan binatang, melakukan “pastoral ministry” dalam pengertian yang sebenar-benarnya. Setelah kegagalan tersebut, lalu Tuhan memanggil dia justru untuk pelayanan yang sama seperti yang dulu dia pernah impikan. Tuhan baru memakai dia pada umur ke-80. Calvin juga mengalami hal yang mirip. Dari Geneva dibuang ke luar, mesti kabur karena ditolak. Ceritanya mau reformasi, malah ditolak, sakit luar biasa. Dia kembali lagi ke Perancis (kali ini di Strassbourg), di situ Tuhan sedang mempersiapkan dia sebelum ia dipanggil kembali untuk reformasi yang sesungguhnya. “Sekarang waktunya kembali ke Geneva,” tetapi dalam pergumulannya Calvin mengatakan, “Lebih baik saya pergi ke tempat lain daripada disalibkan 1000x di kota itu.” “Untuk apa kembali ke kota itu lagi, dulu toh saya ditolak! Buat apa pelayanan di sana lagi? Lebih baik di sini saja, melayani baik-baik, orang-orang menerima dan mengerti, menghargai saya.” Kalau Calvin bersikeras seperti itu, tidak ada Geneva yang kita kenal seperti sekarang. Tapi ternyata dia taat dan kembali, dia memulai lagi pelayanan di sana dan di situlah reformasi yang sesungguhnya terjadi. Contoh terakhir: George Muller, seorang yang dikenal sebagai pahlawan iman. Kalau kita membicarakan iman dan membuka sejarah gereja, George Muller merupakan seorang tokoh yang hampir selalu dikutip. George Muller hampir identik dengan teladan iman. Dia sangat ingin menjadi missionaris semasa mudanya. Tapi Tuhan menolak, Tuhan menghancurkan ‘visi’ itu dan dia dipakai untuk melayani anak-anak yatim piatu, sampai pada usianya yang ke-82 tahun, baru Tuhan memanggil dia untuk menjadi missionaris keliling. Delapan puluh dua tahun dipanggil untuk pelayanan keliling dan belum ada pesawat terbang seperti sekarang. Delapan puluh dua tahun itu giliran seseorang pensiun, tulis buku, masuk-keluar library, kalau perlu naik kursi roda, itulah pekerjaan orang umur 82 tahun. Tapi Tuhan justru panggil, ini adalah saat yang dia dulu selalu mimpikan, menjadi missionaris, tapi mengapa baru sekarang? George Muller dalam keadaan seperti itu, secara kekuatan fisik tidak terlalu banyak pengharapan, mungkin lebih baik meneruskan pelayanan yatim piatu, lebih realistis. Tapi dia taat mengikut Tuhan, dan dipakai luar biasa oleh Tuhan. Itu merupakan bagian kehidupan George Muller yang betul-betul menjadi visi yang digenapkan oleh Tuhan sendiri di dalam dirinya. Tuhan tidak mungkin lupa dan rencana Tuhan tidak ada yang gagal, itu yang kita pelajari dari Ayub. “Umurku telah lalu, telah gagal rencana-rencanaku, cita-citaku” (Ayub 17:11). Namun, ”Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal” (Ayub 42:2). Rencana Tuhan tidak mungkin bisa diporak-porandakan, tapi yang menjadi persoalan adalah apakah kita betul-betul mengenal momen, waktu, cara, bijaksana, tempat yang Tuhan tetapkan di dalam kehidupan kita?