Bacaan: I Tes 5:21
Dunia ini dikuasai oleh pemikiran yang dihasilkan oleh para pemikir dalam segala bidang. Pemikiran-pemikiran tersebut berbeda dalam kualitas dan jangkauan pengaruhnya, dari yang paling global, sampai kepada pengaruh dalam batasan lokal. Pemikiran dalam skala yang lebih global biasanya sudah dicetuskan menjadi suatu teori yang dikembangkan oleh para pemikir. Sementara pemikiran yang lebih berskala kecil biasanya kurang memiliki teori yang digarap dengan comprehensive. Baik teori raksasa maupun teori yang lebih sederhana sebenarnya merupakan hasil perkembangan dari suatu worldview/Weltaunschauung (pandang/wawasan dunia) yang dianut oleh sang pemikir. Sehingga tidak ada suatu teori apapun (entah teori ekonomi, sosial-politik, estetika/seni, science, psikologi etc) yang sifatnya netral. Ini dikarenakan worldview juga tidak mungkin netral.[1]
Setiap orang, entah dia sadar atau tidak, sudah merumuskannya dalam suatu teori atau belum, sebenarnya memiliki worldview, bagaimana dia menginterpretasi dunia (termasuk Tuhan, manusia, alam), suatu persepsi dunia secara keseluruhan (Gesamtheit). Worldview ini selain terbentuk dari aspek sosio-kultural, terutama sangat didasari oleh basic belief yang dianut oleh seseorang. Sebagaimana dikatakan oleh Kitab Amsal (4:23): “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.” Dari worldview ini manusia membangun teori-teori, yang pada akhirnya membentuk kebudayaan umat manusia.
Kita hidup dalam suatu dunia yang terbentuk baik dari kebudayaan yang berdosa maupun kebudayaan yang taat pada kehendak Tuhan. Sebagai orang kristen kita dipanggil untuk “menguji segala sesuatu dan memegang yang baik” (I Tes 5:21). Dengan takaran iman dan kedewasaan yang berbeda-beda, sesuai dengan rencana dan waktu Tuhan, setiap orang percaya bertanggung-jawab untuk melakukan pengujian atas teori-teori yang mewarnai kehidupan kita ini. Pengujian teori-teori ini bukan suatu hal yang mudah, mengingat bahaya over-simplifikasi, labeling, penarikan kesimpulan yang terlalu cepat dsb, namun kita juga tidak perlu menjadi skepsis dan beranggapan bahwa pengujian ini adalah suatu hal yang tidak mungkin dilakukan.
Untuk melakukan suatu pengujian yang comprehensive atas suatu teori dinilai biblikal atau tidak, setidaknya ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan/kerjakan dalam studi tsb:
· Teori ini dikembangkan oleh siapa. Satu orang atau beberapa orang. Apakah modifikasi/revisi/perkembangan yang terjadi dari satu pemikir ke pemikir yang lain. Atau jika kita hanya membicarakan satu orang, adakah terjadi suatu revisi dalam pemikiran awal dan belakangan? Ini akan menghindari kerancuan penilaian generalisasi yang tidak jelas lagi yang mana yang sedang dibicarakan.
· Menyelidiki worldview dari si pemikir. Pandangan/kepercayaan apa yang dianut oleh dia (Kristen, Islam, Yudaisme, Buddha, New Age, Secular Humanism, pragmatism, agnostic, atheis etc.). Sekalipun penyelidikan dalam bagian ini seringkali tidak mudah, namun masih bisa digali dari pernyataan-pernyataan yang pernah dilontarkan olehnya, entah secara langsung dalam karyanya, atau surat-surat pribadi yang pernah ditulis, atau kalau pemikir masih hidup, dari kesempatan2 interview yang pernah diadakan. Bagian ini penting untuk menyelidiki kaitan yang tidak mungkin tidak ada antara kepercayaan si pemikir dengan karya yang dihasilkan. Seandainya kita mengatakan teori ini biblikal, perlu ada kutipan-kutipan yang mendasari bahwa ke-alkitabiah-an karya tersebut memang didukung oleh pengakuan iman yang jelas dan tidak bertentangan.[2]
· Pernyataan langsung dari si pemikir tentang kaitan karyanya yang diakui berasal atau sekurangnya dipengaruhi oleh Alkitab/pemikiran kristen atau dari sumber pemikiran filsafat yang lain. Adanya pernyataan langsung ini memudahkan kita untuk merekonstruksi worldview yang dianut oleh si pemikir.
· Dari situ kita baru bisa menyelidiki apakah pernyataan langsung si pemikir tentang kepercayaannya memang terpancar dalam seluruh karyanya.[3]
· Kutipan-kutipan perbandingan dari para ahli (entah pro atau kontra) tentang pembahasan ini, yaitu apakah teori mereka lebih dipengaruhi oleh filsafat kristen atau non-kristen. Dari situ kita dapat menguji hipotesa yang mana lebih layak untuk dipercaya dan lebih dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
· Perbandingan dengan ilmu-ilmu lain untuk memperkaya perspektif yang diperoleh. Di sini, sekali lagi, perlu kerendahan hati dan sikap saling belajar sesama orang percaya. Seorang teolog bisa memperkaya pengertian teologinya melalui mendengarkan hasil penyelidikan ilmu yang lain (natural science, ekonomi, sosiologi, psikologi etc.), demikian pula seorang ekonom kristen bisa belajar dari teolog, filsuf, ekolog, sosiolog kristen dsb. Di sini akan terjadi apa yang disebut creative-pluralism, yaitu di mana anggota-anggota tubuh Kristus saling melengkapi, membangun serta memperkaya satu sama lain. Setiap anggota tubuh memiliki tempat, kekhususan dan keunikannya masing-masing dan setiap orang menjalankan tugas panggilannya masing-masing. Dengan terus mengembangkan keluasan hati terhadap rekan kerja yang dibangkitkan Tuhan dalam bidang mereka masing-masing, ketulusan motivasi untuk membangun Kerajaan Allah instead of kerajaan kita sendiri, dan terakhir, kecerdikan serta bijaksana untuk mengantisipasi kesesatan serta kebohongan yang terus dikerjakan oleh si ular tua, kita percaya Tuhan akan senantiasa menyertai kehidupan kita sampai kita boleh menggenapkan rencanaNya dalam hidup kita masing-masing, karena hanya „dengan Allah akan kita lakukan perbuatan-perbuatan gagah perkasa“ (Mazmur 60:12).
[1] Ada kecenderungan asumsi yang keliru akibat pengaruh filsafat modern yang membuat dikotomi natural science/Naturwissenschaften dan humanities/Geisteswissenschaften, yaitu suatu pandangan umum bahwa pada dasarnya bidang-bidang ilmu kemanusiaan ditempatkan dalam wilayah nilai, dengan demikian lebih tidak netral sifatnya, sementara ilmu-ilmu alam dikelompokkan dalam wilayah fakta, yaitu yang menyelidiki kebenaran, dengan demikian tidak perlu lagi diuji kebenaran worldview di balik teori-teori tsb (lebih mudah untuk mengatakan filsafat ini atau psikologi ini biblikal atau tidak daripada melakukan pengujian apakah suatu teori ilmu alam biblikal atau tidak).
[2] Ini tidak berarti bahwa setiap orang kristen pasti menghasilkan karya biblikal, atau sebaliknya setiap orang non-kristen tidak mungkin dipengaruhi filsafat kristen dalam karyanya. Namun untuk sampai pada suatu kesimpulan tertentu apakah suatu karya biblikal atau tidak perlu untuk mempertimbangkan kepercayaan si pemikir agar hipotesa yang diajukan lebih meyakinkan dan dapat dipertanggungjawabkan.
[3] Kita dapat mengasumsikan bahwa jika si pemikir jujur maka kaitan ini akan lebih jelas untuk dipaparkan, sementara jika ia tidak jujur, membutuhkan penyelidikan yang lebih jauh untuk menguak kepalsuan kaitan antara pernyataan langsung yang dilontarkan dengan karya yang dihasilkan.