Bacaan: Mat 14:15-21, I Kor 11:23-26
Ada paralel antara kedua bagian firman Tuhan yang kita baca di atas. Dalam masa pelayananNya pengajaran serta perbuatan yang dilakukan Tuhan Yesus seringkali menunjuk kepada pengertian rohani yang lebih dalam yang hendak dinyatakan kepada para muridNya. Sayangnya banyak orang yang tidak mau mengerti apa yang Tuhan ajarkan dan menafsirkannya sekehendak hati mereka sendiri, sehingga akibatnya sekalipun mereka pernah bersama-sama hidup dengan Tuhan, mereka tidak sungguh-sungguh mengenal kebenaran. Seluruh hidup manusia yang berdosa tertuju kepada kepuasan dirinya sendiri dan tidak seorangpun yang mencari Allah. Itulah sebabnya ketika Allah datang mencari kita di dalam AnakNya Yesus Kristus, kita perlu untuk mendengarkan apa yang Dia ajarkan.
Yohanes mencatat bahwa banyak orang menjadi kecewa ketika Yesus mengatakan, -Akulah roti hidup-. Mereka mencari Yesus karena telah makan roti dan menjadi kenyang. Apakah salah mengalami kepuasan atau merasakan kenyang dalam hidup ini? Tentu saja tidak. Namun persoalan yang terjadi di sini adalah bahwa manusia tidak mempedulikan apa yang sesungguhnya dia butuhkan, dan bahwa orientasi hidupnya semata-mata adalah keuntungan dirinya sendiri, maka ketika Tuhan Yesus memberikan satu pengajaran yang keras, yang sulit, yang tidak mudah untuk dicerna, banyak di antara mereka yang mengundurkan diri, tidak tahan menghadapi penyelidikan Tuhan atas kedalaman hati manusia yang bobrok.
Bagaimana dengan hidup kita? Apakah kita hanya mau mendengar apa yang kita suka untuk mendengarnya karena hal itu menguntungkan kita? Atau kita menjadi manusia yang terus-menerus bergumul untuk mengerti kedalaman pengenalan akan Allah sepanjang hidup kita? Tuhan Yesus memberi makan lima ribu orang karena Dia sungguh peduli akan kebutuhan manusia secara holistik, seharusnya pemenuhan kebutuhan ini membawa manusia untuk mengerti lebih dalam pengajaran Tuhan Yesus tentang diriNya sendiri. Demikianlah kita baca pada bagian firman Tuhan ini, mujizat yang dinyatakan di sini sebenarnya menunjuk kepada peristiwa perjamuan terakhir yang memberitakan kematian serta pengorbananNya di atas kayu salib bagi kita yang berdosa.
Ada kesejajaran bahasa yang digunakan dalam Injil dan Surat Korintus yang kita baca. Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkan dan akhirnya membagi-bagikannya kepada orang banyak. Henri Nouwen menulis komentar yang sangat baik tentang hal ini.
Yang pertama, Yesus mengambil roti. Suatu pelayanan yang menjadi berkat bagi banyak orang dimulai oleh pemilihan Tuhan. Kita tidak berhak untuk memilih diri kita sendiri, menentukan -kebesaran- pelayanan kita. Yesaya tidak memilih dirinya sendiri, Yeremia tidak, Yohanes juga tidak, Paulus pun tidak demikian. Allahlah yang menentukan siapa yang dikehendakiNya untuk menjadi alat yang berguna di dalam tanganNya karena Ia adalah Allah yang Berdaulat. Namun bagian dan tanggung jawab kita sebagai manusia adalah menyerahkan diri, memberikan apa yang kita miliki dalam tanganNya yang Mahakuasa. Bukankah kita seringkali terlalu congkak untuk mengatur bagaimana kita akan melayani, bagaimana kita akan menjadi berkat, bagaimana orang lain akan mendengarkan kita, bagaimana orang akan menghargai keberadaan kita yang sanggup memberikan pengaruh dan lain sebagainya. Dalam kenyataannya, semua bijaksana manusia ternyata tidak memenuhi apa yang seringkali kita harapkan. Inilah sebuah latihan penyangkalan diri, menyerahkan seluruh potensi serta segala sesuatu yang kita miliki, ya, seluruh hidup kita dalam tangan Tuhan dan membiarkan Dia yang menentukan bagaimana itu akan menjadi berkat bagi banyak orang. Di situlah mujizat akan terjadi, yaitu ketika kita menyaksikan apa yang menurut ukuran manusia mustahil, dalam tangan Allah sanggup untuk mengenyangkan ribuan orang.
Hidup yang diberkati Tuhan dimulai dengan tindakan pemisahan, konsekrasi, pengudusan dari Tuhan sendiri. Karena Tuhan menguduskan kita, maka kita pun wajib menguduskan diri kita, memisahkan diri dari segala sesuatu yang menghalangi kepemilikan Tuhan sepenuhnya atas hidup kita.
Yang kedua, Yesus mengucap berkat (bisa juga diterjemahkan mengucap syukur). Tuhan bukan bersyukur kepada kita karena kita telah menyerahkan sesuatu bagi pekerjaanNya, berkontribusi atau membantu Tuhan, melainkan Dia bersyukur kepada Bapa yang di surga atas orang-orang yang boleh dilibatkan dalam pekerjaan Tuhan yang sangat mulia. Kesempatan yang tidak diberikan kepada setiap orang, kesempatan yang merupakan anugerah yang besar. Betapa pun besar potensi atau talenta yang kita miliki, tanpa Tuhan mengucap berkat, tidak akan sanggup untuk mengenyangkan banyak orang. Ada begitu banyak orang berpotensi besar yang dilewati oleh Tuhan, Tuhan tidak memerlukan semuanya itu karena segala sesuatu berasal dari Dia. Yang Tuhan perlukan adalah seorang yang rendah hati, yang rela menyerahkan apa yang dimilikinya, entah sedikit atau banyak, di dalam tangan Tuhan segala sesuatu menjadi berarti.
Sebagaimana Tuhan mengucap syukur atas penyerahan yang sederhana ini (lima roti dan dua ikan), maka kita juga seharusnya dipenuhi dengan ucapan syukur atas apa yang Tuhan titipkan dalam kesementaraan hidup ini. Manusia cenderung mengucap syukur untuk hal-hal yang besar dan spektakuler saja dan kurang appreciate berkat-berkat -sederhana- yang tiap hari kita terima. Tuhan Yesus memberi teladan yang agung ketika Dia mengucap syukur -hanya- atas lima roti dan dua ikan, sebuah jumlah yang sama sekali tidak masuk hitungan manusia. Itulah yang menyatakan bahwa hidupNya sungguh-sungguh ada dalam segala kelimpahan.
Tahap ini merupakan sebuah langkah yang penting dalam kehidupan kita sebelum kita memasuki tahap yang berikutnya (dipecah-pecahkan). Seseorang yang penuh dengan ucapan syukurlah yang rela dan dapat dipecah-pecahkan oleh Tuhan, sementara orang yang selalu mengeluh dan tidak pernah puas dengan apa yang ada pada dirinya, tidak akan sanggup bertahan ketika dipecah-pecahkan. Spirit of contentment, sebagaimana diajarkan oleh seorang Puritan yang bernama Jeremiah Burroughs, menggemakan apa yang sudah ditulis oleh Paulus yang belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan. Pengakuan akan betapa baiknya Tuhan itu, yang senantiasa mencukupi segala kebutuhan kita, itulah awal sebuah pertumbuhan rohani pada tahap yang berikutnya.
Ketiga, Yesus memecah-mecahkan. Ia memecah-mecahkan roti, yaitu tubuhNya sendiri, yang diserahkan bagi banyak orang. Tidak ada pengorbanan yang lebih besar daripada itu. Itulah yang Tuhan lakukan bagi Saudara dan saya. Itulah juga yang Tuhan inginkan untuk kita teladani. Memang, kehidupan kristiani banyak tertunda, terhambat di sini. Tuhan sudah memberkati kita, memakai kita sebagai alatNya, namun kita kurang maksimal, karena kita seringkali menolak untuk dipecah-pecahkan. Kita lebih suka melayani Tuhan dalam batas-batas yang aman, yang tidak beresiko, tidak ada luka, tanpa pengorbanan. Tuhan Yesus memuji janda miskin yang memberi hanya dua peser sebagai yang lebih banyak memberi daripada banyak orang kaya, karena orang-orang kaya itu memberi dalam kelimpahannya, mereka memberi dalam zone aman, sementara janda miskin ini memberi dengan meresikokan dirinya sendiri. Itulah persembahan hidup yang sejati, suatu korban yang dipecah-pecahkan. Bagaimana dengan hidup pelayanan kita di hadapan Tuhan? Apakah kita hanya menyisihkan waktu-waktu yang memang sisa untuk melayani Tuhan, uang yang memang lebih, keahlian yang memang tidak dapat diharapkan untuk bersaing dalam dunia kerja bagi Tuhan? Demikianlah anak kecil yang menyerahkan lima roti dan dua ikan ini juga meresikokan dirinya sendiri ketika dia menyerahkannya kepada Tuhan, jangan-jangan dia sendiri tidak kebagian mengingat jumlah orang yang sangat banyak, atau bukankah ini kesempatan yang sangat baik untuk berdagang, kapan lagi menjual roti dan ikan dengan harga yang setinggi-tingginya kalau bukan sekarang? Mungkin Tuhan dapat membelinya sepuluh kali lipat! Namun semua pikiran-pikiran seperti ini tidak kita jumpai dalam diri anak kecil tersebut.
Ketika kita dipecah-pecahkan oleh Tuhan kita akan merasakan rasa sakit, rasa sakit yang menyembuhkan dan mengubahkan hidup kita. Di situlah terjadi penghancuran ego untuk memasuki keutuhan yang sesungguhnya, penyaliban manusia lama untuk mengalami kuasa kebangkitan Kristus, pembentukan untuk menjadikan kita serupa dengan Kristus.
Keempat, Yesus membagi-bagikan. Dipecahkan terlebih dahulu, baru kemudian dibagi-bagikan kepada banyak orang. Itulah kehidupan yang berkelimpahan, yang mengenyangkan dan memperkaya orang banyak. Dan sekali lagi, di sini anak kecil dan juga para murid harus belajar untuk mempercayai Tuhan yang sanggup melakukan hal-hal yang mustahil dan supra-akali. Sebuah sistem perhitungan yang berbeda kembali kita saksikan di sini: yang membagi-bagikan tidak berkekurangan tetapi tetap berkecukupan bahkan ada kelimpahan yang tersisa. Ketika manusia percaya, maka dia akan menyaksikan kemuliaan serta kebesaran pekerjaan Tuhan yang menjadi berkat bukan hanya bagi diri sendiri saja, melainkan bagi banyak orang. Itulah mujizat yang dilakukan oleh Yesus, yang mencapai puncaknya saat Dia menyerahkan nyawaNya sendiri bagi barangsiapa yang percaya dalam namaNya. Pemecahan tubuhNya yaitu kematianNya telah membuka pintu pengharapan bagi kehidupan banyak orang.
Ketika kita berbagian dalam Perjamuan Kudus, kita mengingat apa yang Tuhan sudah lakukan bagi umat manusia, kita merenungkan penderitaan dan kehinaanNya yang memimpin banyak orang masuk ke dalam kemuliaan yang kekal. Selain memperingati kita juga memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang (I Kor 11:26). Kita memberitakan kematianNya, seperti Paulus seumur hidupnya memberitakan kematian Kristus bukan hanya dengan perkataan, melainkan juga dengan kehidupannya mengikuti jejak kaki Kristus, diambil, diberkati, dipecah-pecahkan, dibagi-bagikan bagi banyak orang. Suatu korban yang harum, yang berkenan di hadapan Allah.
Kiranya Tuhan menolong dan menguatkan kita memperoleh kehidupan yang sedemikian. Solus Christus!
Billy kristanto