Bacaan: Matius 6:5-15
Bagian ini termasuk dalam bagian dari khotbah di bukit yang sangat terkenal. Ajaran Yesus Kristus dapat dikatakan dikristalisasikan dalam khotbah di bukit. Kita tidak harus mengerti khotbah di bukit sebagai suatu rangkaian yang terjadi secara kronologis, melainkan merupakan kumpulan khotbah yang dikumpulkan oleh Matius.
Di dalam seri ini, kita membaca satu bagian yang membahas tentang trilogy, 3 hal:
Hal memberi sedekah, tindakan kita kepada orang lain, menyatakan cinta kasih kepada orang lain. Menekankan hubungan kita dengan sesama, hubungan yang horizontal.
Hal berdoa menyatakan komunikasi kita dengan Tuhan, hubungan yang vertical.
Hal berpuasa menekankan penguasaan diri, hubungan diri kita dengan diri kita. Yang paling merepotkan di dalam seluruh kehidupan kita sebenarnya adalah diri kita sendiri, bukan orang lain. Yang paling banyak menimbulkan masalah di dalam hidup kita adalah diri kita sendiri, maka hal penguasaan diri merupakan sesuatu yang sangat penting.
Di dalam tiga bagian ini, ada satu spirit penekanan yang sama, yang dicatat di dalam ayat 5. Orang yang berdoa dengan berdiri di dalam rumah-rumah ibadat, di tikungan-tikungan jalan raya, dsb supaya mereka dilihat orang, Tuhan Yesus mengatakan mereka sebagai orang-orang yang munafik. Munafik adalah salah satu dosa yang paling dibenci oleh Yesus Kristus. Munafik merupakan ketidakjujuran yang meski motivasinya memang menipu orang lain, tetapi sebenarnya orang yang munafik juga sedang mengelabui diri sendiri dan terutama juga mengelabui Tuhan (satu perbuatan yang absurd dan tidak masuk akal). Orang yang munafik tidak mau mengakui kelemahan dirinya sendiri, dia berusaha membangun satu topeng palsu untuk menyatakan dirinya seolah-olah lebih baik daripada fakta yang ada. Orang munafik berdoa supaya diketahui orang sebagai orang yang saleh padahal di dalam kenyataannya mereka bukanlah orang yang demikian. Mereka mengelabui orang supaya kelihatan kehidupannya lebih baik daripada orang lain dan juga lebih baik daripada yang ada secara fakta.
Di dalam ayat 6 terutama dikatakan, waktu kita berdoa, kita belajar untuk menyatakannya di dalam ketersembunyian. Ini adalah salah satu tekanan di dalam spiritualitas Reformed. Tetapi bukan berarti kita harus melakukan semuanya di dalam ketersembunyian. Sebab kalau demikian, kita tidak mungkin berdoa di dalam ibadah. Pointnya bukan di dalam pengertian kita tidak boleh berdoa di depan orang lain, tetapi kita perlu menyediakan suatu waktu yang khusus, tempat yang khusus untuk mengerjakan hal-hal yang betul-betul tidak diketahui oleh siapapun juga kecuali kita dan Tuhan sendiri. Bahkan di dalam bagian yang lain, dikatakan waktu kita memberi sedekah, jangan satu tangan memberi sedekah, tangan yang lain mengetahui. Maksudnya jangan kita melakukan suatu kebaikan lalu kita puji-puji diri sendiri. Kita mungkin bisa menyembunyikan diri terhadap orang lain tapi apa daya kita tidak bisa menyembunyikan diri dari diri kita sendiri. Diri kita mencoba untuk acknowledge diri sendiri, lalu memuji diri sendiri, itu menjadi satu kerusakan. Spirit yang sama disini adalah belajar untuk melakukan hal-hal tersebut di dalam ketersembunyian. Mengapa kita perlu latihan ini? Karena sebagai manusia yang lemah, kita tidak selalu bisa melakukan banyak hal secara tulus.
Kadang waktu kita melihat ada seseorang yang kita anggap lebih besar sedang mengawasi kita, kita akhirnya jadi susah untuk berlaku apa adanya, kita mencoba berlaku lebih baik dan tanpa sadar memalsukan tindak-tanduk kita. Dan yang menjadi kecelakaan bukan karena tindak tanduknya, karena manner is something external. Yang menjadi kecelakaan adalah dengan tidak sadar sikap hati kita yang terdalam terpengaruhi. Kita berusaha tampil berbeda, kita berusaha jadi orang lain. Ada orang yang habis teriak-teriak, suara keras, begitu telepon masuk suaranya jadi lembut, langsung berubah jadi orang lain. Hal-hal seperti itu kadang-kadang tidak kita sadari membuat kita berlaku munafik. Oleh sebab itu penting sekali melakukan exercise yang kita lakukan di dalam ketersembunyian. Karena di dalam ketersembunyian itu betul-betul kita tampil apa adanya, kita tidak bisa mengelabui diri dan hanya Tuhan yang mengetahui hal tersebut. Kita tidak perlu lagi main sandiwara, tidak ada penonton di situ, tidak mungkin main sandiwara di hadapan Tuhan karena Tuhan Mahatahu. Jadi kita tampil apa adanya dan kita menyatakan diri sejujur-jujurnya di hadapan Tuhan. Orang yang cuma suka berdoa di depan umum, lalu sekali doa itu panjang luar biasa seolah-olah menyatakan diri suka berdoa, padahal itulah satu-satunya waktu dia berdoa selama seminggu. Dia tidak jujur di hadapan Tuhan. Bagaimana dengan kehidupan doa kita pribadi? Apakah di dalam doa kita pribadi kita naikkan doa untuk pekerjaan Tuhan juga?
Ketika kita menolong orang lain, mari kita belajar menolong orang lain di dalam ketersembunyian, tidak perlu ada yang tahu. Ketika kita mendoakan orang lain, mari kita belajar mendoakan dia juga di dalam ketersembunyian. Kita memberikan persembahan, atau melakukan apapun juga, mari kita belajar untuk melakukan itu diam-diam. Orang yang terlatih melakukan segala sesuatu di dalam kondisi ketersembunyian, saya percaya dia mempunyai suatu integritas yang tinggi di dalam hidupnya. Dalam melakukan segala hal, kita harus belajar bahwa setiap saat yang kita lakukan terbuka di hadapan Tuhan yang selalu ada, selalu hadir. Dengan belajar menghidupi kehidupan yang seperti ini, pasti kita mempunyai dignitas di dalam diri kita. Seseorang yang berwibawa tidak dikendalikan oleh perjumpaan dengan orang-orang yang dianggap dunia ini sebagai orang besar/penting menakutkan karena yang betul-betul menakutkan itu adalah Tuhan sendiri. Mari kita belajar di dalam hidup kita untuk mempraktekan spirit yang seperti ini.
Ayat yang ke-6 mengatakan Tuhan membalas mereka yang melakukan hidup keagamaan mereka di dalam ketersembunyian karena itu dilakukan mereka di dalam ketulusan.
Sebelum Yesus Kristus mengajarkan tentang doa, Dia perlu membongkar terlebih dahulu konsep doa yang salah. Selain kemunafikan, kesulitan yang kedua kita temukan di ayat ke-7, yaitu orang yang berdoa bertele-tele. Di dalam bahasa Inggris digunakan – do not use vain repetitions-. Bertele-tele bukan cuma sekedar repetisi atau pengulangan karena kalau kita baca Yesus Kristus pun juga berdoa dengan pengulangan. Dia pernah berdoa berulang-ulang di Getsemani, berdoa 3 kali doa yang sama karena pergumulan itu begitu berat. Doa yang diulangi belum tentu doa yang bertele-tele, demikian juga doa yang kata-katanya banyak itu belum tentu doa yang bertele-tele. Persoalannya adalah: berpikir dengan banyaknya kata-kata itu doanya akan dikabulkan. Dia pikir, dengan doa yang seperti itu, Tuhan akan lebih tergerak. Jadi kita tidak betul-betul percaya sebetulnya waktu kita berdoa kepada Tuhan. Tradisi daripada doa mantra, yang sekarang celakanya juga dikembangkan di dalam kekristenan! Itulah yang persis dibilang Tuhan doa bertele-tele, vain repetations. Doa Bapa Kami juga kalau diulang-ulang tergantung berapa besar dosa juga dapat menjadi doa yang bertele-tele. Itulah yang dimaksud Tuhan Yesus doa bertele-tele. Orang yang berdoa, setelah dia selesai berdoa, pergumulan sudah selesai diserahkan di dalam tangan Tuhan, dia harusnya bisa meninggalkan kesulitan itu lalu dia bisa mengerjakan hal-hal dengan lebih baik. Tapi kalau orang sudah selesai berdoa, terus masih -kepikiran- akhirnya dia terus berdoa ulang-ulang lagi, itu sebetulnya semacam ketidakpercayaan terhadap Tuhan. Seolah-olah Tuhan tidak sanggup menyelesaikan persoalan kehidupan kita maka kita terus meneror Tuhan dengan kalimat yang bertele-tele. Sekali lagi persoalannya bukan di repetition in itself, tapi repetisi yang sia-sia. Diulang-ulang terus padahal tidak ada makna apa-apa. Cara berdoa seperti ini adalah cara berdoa orang yang tidak mengenal Allah. Orang kafir mengucapkan mantra karena mereka percaya dengan kalimat yang diucapkan terus menerus seperti itu ada kekuatan magisnya.
Luther secara menarik pernah mengembangkan satu konsep – Orang harus berdoa pendek, tapi sering dan kuat – (Kurz soll man beten, aber oft und stark). Yang ditekankan lebih pada urgency (kuat dapat dimengerti seperti itu) di dalam prayer, dia lebih menekankan spirit kesungguhan di dalam prayer itu sendiri. Persoalan yang seringkali terjadi di dalam hidup kita adalah urgency itu tidak ada, sehingga doa kita akhirnya menjadi doa yang kurang passionate. Suasana doa menjadi suatu suasana yang baik kalau kita berdoa di dalam fervent spirit dan urgency.
Belajar dari para reformator, Tuhan seringkali menjadikan kesulitan, penderitaan, kesengsaraan menjadi satu sarana efektif untuk membuat orang itu berada di dalam suatu keadaan yang urgent. Waktu orang berada di dalam suatu keadaan yang urgent, maka dia berdoa di dalam fervent spirit. Sayangnya, seringkali kita sebagai manusia yang lemah kalau tidak ada penderitaan, doa kita menjadi tumpul karena kita merasa tidak ada sesuatu yang betul-betul harus didoakan. Alangkah baiknya kalau kita bisa melatih untuk memiliki spiritual appetite – spiritual taste yang baik, supaya di dalam kondisi apapun kita bisa berdoa dengan fervent spirit. Mari kita belajar untuk berdoa juga di dalam roh yang benar. Tidak sungguh-sungguh percaya kepada Tuhan dan tidak berdoa di dalam fervent spirit berkait satu sama lain.
Di ayat yang ke-8 dikatakan, – Jadi janganlah kamu seperti mereka, karena Bapamu mengetahui apa yang kamu perlukan, sebelum kamu minta kepadaNya -. Inilah seringkali persoalan yang terjadi ketika orang berdoa. Berdoa kepada Tuhan tapi tidak betul-betul yakin bahwa Tuhan sanggup memberikan apa yang didoakan (dengan asumsi kalau itu memang merupakan kehendak Tuhan), berarti tidak berdoa di dalam iman. Doa itu sebenarnya invitation dari Tuhan yang memang sudah siap memberikan. Tuhan jauh lebih ingin memberikan berkatNya kepada kita, lebih daripada kita menginginkan berkat Tuhan. Tapi banyak orang-orang kristen berdoa seperti seolah-olah Tuhan menahan berkat, jadi terus berdoa menggebu-gebu lalu Tuhan mulai tergerak dan mulai memberi. Itu konsep yang sangat melelahkan. Kalau kita berdoa dengan konsep seperti ini, kita akan berdoa dengan spirit yang meskipun kelihatan seperti sangat passionate tapi tidak betul-betul di dalam penyerahan diri yang benar. Tuhan jauh lebih ingin kita berdoa daripada kita ingin berdoa kepada Dia. Waktu kita berdoa, sebenarnya kita sedang berespon terhadap invitation Tuhan. Tuhan sedang menunggu kita berdoa. Sama seperti Bapa yang menunggu anak yang terhilang. Dia menunggu, dia bukan passive. Dia sudah menunggu, menunggu dan menunggu sampai anaknya itu kembali lalu dia peluk, dia langsung menerima karena itulah yang dia kehendaki. Di dalam kehidupan Kristen, kita terus memikirkan hal seperti ini, Tuhan itu memang ingin, Tuhan itu sudah menanti saya berdoa, Tuhan memang sudah dari lama menanti penyerahan diri saya lalu kita menyerahkan diri. Ini merupakan tindakan yang klop, yang merupakan jawaban terhadap inisiatif Tuhan. Kita bukan menggerakkan Tuhan di dalam doa, seolah-olah Tuhan adalah Tuhan yang tergantung daripada kecenderungan hati kita, tapi Tuhan telah terlebih dahulu menanti dan kita menyambut ajakanNya. Di dalam cara pemikiran seperti ini, hidup kita akan menjadi berubah.
Kadang-kadang orang berdoa untuk mencari kehendak Tuhan, ini suatu tema yang besar. Biasa orang mencari kehendak Tuhan ketika dia mau nikah, pacaran, mau pindah kota, studi, pencarian kehendak Tuhan seperti ini seringkali memiliki motivasi yang agak egois karena orang cari kehendak Tuhan saat-saat seperti ini biasanya bukan karena ingin memuliakan Tuhan, melainkan karena takut salah. Kalau salah, nanti jalan bukan di dalam kehendak Tuhan akhirnya menuai sesuatu yang tidak enak. Orang mau hidup secure, maka ia cari kehendak Tuhan, ini cari kehendak Tuhan yang agak egois. Pencarian kehendak Tuhan yang benar itu seharusnya diarahkan terutama menurut kepentingan Tuhan. Kenapa kita cari kehendak Tuhan, karena itulah yang paling menyenangkan Tuhan, karena itu yang paling mempermuliakan Tuhan, karena itu yang paling meninggikan nama Tuhan. Pencarian kehendak Tuhan dengan spirit seperti itu adalah spirit yang theosentris, bukan karena takut jalan salah lalu mendapat hukuman dan murka Tuhan.
R. Pritchard mengatakan prinsip yang sama mengenai kehendak Tuhan, -Tuhan lebih ingin menyatakan kehendakNya kepada kita daripada kita ingin mengetahui kehendakNya.- Tapi banyak orang-orang Kristen seolah-olah mencari kehendak Tuhan seperti Tuhan sengaja main teka-teki dengan kita. Satu konsep yang sama sekali salah dan tidak alkitabiah. Mungkinkah kita lebih ingin mengetahui dan menaati kehendak Tuhan daripada Tuhan ingin menyatakan kehendakNya kepada kita? Itu hal yang tidak mungkin. Ketika kita kembali pada konsep yang benar, maka pergumulan mengetahui kehendak Tuhan itu bukan menjadi hal yang sangat berat, karena Tuhan itu sebenarnya sudah siap untuk menyatakan kehendakNya. Lalu mengapa seringkali kita tidak jelas kehendak Tuhan? Sebetulnya ketidakjelasan atau kekaburan kita untuk mengetahui kehendak Tuhan seringkali diakibatkan karena ketidaksiapan kita untuk melakukan dan menaatinya, bukan karena Tuhan tidak mau menyatakan. Kalau kita sudah mau tahu kehendak Tuhan, Tuhan sudah kasih tahu, akhirnya kita tidak mau melakukan, lalu untuk apa tanya? Akhirnya Tuhan menghakimi kita lebih berat karena sudah tahu tetapi tidak taat. Salah satu point penting yang harus kita gumulkan dalam pencarian kehendak Tuhan yaitu kerelaan atau kesiapan kita sendiri untuk menaati kehendak Tuhan itu sendiri. Jangan tanya kehendak Tuhan, kalau kita tidak betul-betul siap untuk menaati apa yang akan diberikan Tuhan di depan kita. Ini bukan dis#ouragement tapi encouragement untuk tanya dengan kesiapan hati. Ayat ini seharusnya mendorong kita untuk lebih lagi berdoa di dalam cara yang benar. Kita berdoa kepada Tuhan karena Tuhan sudah siap memberikan berkatNya kepada kita, kita mengikut Tuhan karena Tuhan sudah terlebih dahulu menarik kita, kita melayani Dia karena Tuhan sudah terlebih dahulu memanggil kita. Seluruh kehidupan Kristen sebetulnya adalah kehidupan responsif, tidak ada kehidupan yang bukan respon. Memang respon bisa ya/tidak/acuh-tak acuh. Tidak berespon pun juga respon. Tetapi berbahagialah mereka yang berespon dengan benar terhadap apa yang Tuhan akan kerjakan di dalam hidupnya.
Kehidupan Kristen itukbukan suatu kehidupan yang dipaksa dan dituntut. Kadang tuntutan malah membuat seseorang makin keras. Karena seharusnya yang terjadi adalah responsif alamiah. Yang seringkali menjadi persoalan adalah kita tidak sadar tentang begitu banyaknya berkat Tuhan yang kita terima di dalam hidup, sehingga akhirnya kita juga berespon acuh tidak acuh, tidak mempersembahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Mereka yang tidak berespon dengan benar, karena dia tidak tahu apa yang sudah dikerjakan oleh Tuhan, tidak peka akan hal tersebut, maka dia tidak berespon. Yang kedua bisa juga karena spiritual appetite atau spiritual taste, saraf spiritualnya mati.
Bagaimana supaya kita bisa berespon dengan baik di hadapan Tuhan? Mari kita memperkembangkan kepekaan di dalam hal-hal rohani lebih daripada perkara sehari-hari. Kadang kita sangat peka terhadap perkara sehari-hari, meski perkara sehari-hari itu bukan nothing, tapi orang seringkali terlalu peka terhadap perkara-perkara biasa. Paulus menegur jemaat Korintus yang memperjuangkan hak untuk mendapatkan keadilan di dalam komunitas Kristen, sesama orang percaya dan mencari keadilan itu pada orang yang tidak percaya. Mereka terlalu peka terhadap perkara-perkara biasa, padahal nanti suatu saat orang percaya akan menghakimi para malaikat. Perkara-perkara biasa seperti itu mereka tidak sanggup menyelesaikannya. Kita seringkali terlalu peka terhadap hal-hal yang tidak terlalu penting. Terhadap perkara-perkara biasa kita peka sekali, tetapi terhadap perkara-perkara rohani kita tumpul. Alkitab mengajarkan mari kita meningkatkan spiritual appetite – spiritual taste. Dalam pembicaraan formasi spiritual, kita membicarakan tentang latihan-latihan rohani (meskipun kita harus selalu sadar bahwa kerohanian kristen bukan bersifat methodologis tetapi sesuatu spirit yang Tuhan kerjakan di dalam hati, transform dari dalam dan bukan metode). Spiritual exercise apa yang bisa kita kerjakan untuk meningkatkan spiritual taste tersebut? Salah satunya yaitu berdoa dengan sikap yang benar, berdoa di dalam ketersembunyian, berdoa di dalam kepercayaan kepada Tuhan bukan dengan bertele-tele dan bukan dengan kalimat yang sebanyak-banyaknya, berdoa dengan satu pengertian percaya bahwa Tuhan sudah terlebih dahulu menyiapkan berkat di depan kita. Mari ita terus memperbaharui konsep kita di dalam kita mengikut Tuhan dan kita akan semakin mengetahui bahwa Firman Tuhan adalah sumber kehidupan, kebenaran yang memerdekakan kita dan membawa kita ke dalam kehidupan yang berkelimpahan. Kiranya Tuhan sumber segala berkat mengaruniakan kepada kita kehidupan yang sedemikian.
Dalam ayat 5-7 dicatat bahwa sebelum Tuhan Yesus mengajarkan kata-kata Doa Bapa kami, Ia memperbaiki konsep orangmorang yang salah mengenai berdoa. Ada orang-orang yang berdoa supaya mereka dilihat oleh orang lain. Ini semacam management impresi (mengutip istilah J. Ortberg), yaitu untuk membuat orang lain terkesan. Ini bukan hanya terjadi dalam berdoa, tetapi dalam hal-hal rohani lainnya seperti puasa dan memberi sedekah. Kita dapat keluar dari kelemahan tersebut waktu kita melakukan kegiatan keagamaan dalam ketersembunyian.
Dalam hal rohani, kita sering menjadi sibuk dalam kegiatan, apalagi laki-laki. Laki-laki sering menempatkan meaning of life dalam apa yang dia kerjakan. Kalau dia ada banyak pekerjaan, dia merasa hidup lebih berarti. Seringkali apa yang kita lakukan dalam kegiatan-kegiatan tersebut membuat kita tidak lagi mengenal s)apa diri kita. Yang lebih celaka lagi, kegiatan-kegiatan itu menjadi semacam topeng atau rasionalisasi terhadap suatu kerentanan yang kita tidak mau akui maupun selidiki dalam hati kita. Seorang Bishop Methodist pernah mengatakan bahwa kita ini tidak suka akan ketenangan/silence, karena silence itu membawa kita ke dalam konfrontasi langsung dengan Tuhan. Seringkali kita berusaha menghindari hal itu dengan menyibukkan diri dalam berbagai hal, sehingga kita semakin tidak mempunyai waktu untuk merefleksikan diri di hadapan Tuhan.
Salah satu spiritual exercise yang penting dalam kekristenan adalah doa itu sendiri. Doa merupakan suatu kesempatan di mana kita bisa – berkonfrontasi- dengan Tuhan. Sayangnya, seperti yang dikatakan Tuhan Yesus%rC seringkali doapun bukan merupakan suatu kesempatan untuk lebih mengenal diri dan mengenal Tuhan. Banyak orang berdoa untuk diperhatikan orang, sehingga tidak ada kaitan vertikal dalam doa mereka. Banyak juga orang yang berdoa dengan kata-kata yang berulang-ulang dan panjang lebar. Mereka melakukan itu seperti orang kafir yang berpikir bahwa dengan banyaknya kata-kata mereka akan menggerakkan hati Tuhan. Padahal dalam ayat 8 dikatakan bahwa Tuhan sudah mengetahui sebelum kita mendoakan, karena Dia adalah Allah yang Maha tahu. Dalam pengulangan itu terkandung suatu spirit ketidakpercayaan.
Yohanes 16 mencatat mengenai pekerjaan Roh Kudus sebagai Penghibur. Dikatakan Roh Kudus akan menginsafkan dunia akan dosa, dan inti dari dosa itu adalah ketidak-percayaan. Orang berbuat dosa karena dia tidak percaya. Mereka tidak percaya bahwa dosa itu berisi kekosongan yang akhirnya hanya akan menimbulkan kegelisahan. Orang berbuat dosa karena tidak percaya apa yang dikatakan firman Tuhan. Adam dan Hawa akhirnya makan juga buah itu karena mereka tidak percaya apa yang dikatakan Tuhan dan lebih percaya apa yang dikatakan setan sehingga mereka mulai ragu-ragu. Orang kafir terus menerus mengulang permintaan mereka seolah-olah Tuhan tidak mengerti apa yang mereka butuhkan. Kalau kita berbicara kepada orang lain terus menerus mengulangi permintaan kita, maka orang itu akan jengkel sekali, karena kita sepertinya tidak percaya kepada orang tersebut. Tuhan memang jauh lebih sabar daripada kita, tetapi saat kita terus mengulang-ulang, sebenarnya kita juga sedang merusak diri kita sendiri. Maka orang yang berdoa tanpa iman kepercayaan sepenuhnya bahwa Tuhan mengerti kebutuhan kita, ia berdoa seperti orang kafir.
Dalam konteks yang seperti ini, Yesus Kristus mengajarkan Doa Bapa kami. Seringkali kita lihat dalam Alkitab bahwa pengajaran-pengajaran yang begitu penting ternyata muncul dalam konteks/keadaan/situasi yang kacau balau. Tuhan terkadang mengijinkan suatu setting yang kacau balau untuk kemudian memunculkan suatu pengajaran yang penting kepada kita. Jadi mungkin dalam keadaan yang chaotic, Tuhan akan memunculkan pekerjaaanNya yang dahsyat di tengah-tengah keadaan yang seperti itu (tentu ini sama sekali bukan berarti bahwa Tuhan membutuhkan keadaan kacau-balau tersebut untuk menyatakan pekerjaanNya, melainkan bahwa sekalipun keadaan kacau, Tuhan justru dapat memakainya untuk menggenapkan rencananya).
Ayat 9 dimulai dengan kata ‘therefore’ yang merupakan suatu antithesis, suatu lawan kata dari cara berdoa orang kafir. ‘Karena itu’ maksudnya karena banyak orang kafir berdoa seperti itu dan itu bukan cara kita. Karena itu berdoalah demikian, dalam bahasa Inggris ‘therefore pray in this manner’. Tuhan Yesus tidak memberikan suatu contoh yang kaku yang harus kita ikuti kata demi kata. Tetapi Ia memberikan ‘cara ini’ yaitu struktur, form dan manner-nya.
Yang pertama dikatakan -Bapa kami yang di Surga-. Dalam bahasa asli, kata pertama yang muncul adalah Bapa (Father) kemudian kami (us). Dalam bahasa Yunani, kata yang ditaruh di depan biasanya ditekankan. Bapa adalah suatu sebutan dalam kebudayaan paternalistik. Bapa adalah suatu kedudukan yang sangat dihormati, karena ayah adalah tulang punggung dari keluarga. Seluruh warisan harta dan nama keluarga diturunkan ke anak laki-laki dari bapanya. Maka sebutan bapa menjadi sebutan yang penting dan ada suatu penghormatan sekaligus suatu intimasi. Memang dalam budaya Asia posisi bapa mungkin tidak terlalu menggambarkan suatu keintiman. Ada suatu hierarki yang menimbulkan jarak. Namun ayat ini mengatakan Bapa yang di Surga. Bapa yang di dunia memang tidak ada yang sempurna, tetapi Bapa yang di Surga adalah yang sempurna. Psikologi sekuler dengan naifnya mengatakan bahwa ketika orang Kristen memanggil Bapa yang di Surga itu karena mereka kecewa terhadap bapa yang di dunia. Bapa yang di dunia tidak menjalankan tugasnya sehingga orang kristen bermimpi akan Bapa yang di Surga. Ada orang yang menyelidiki pemikiran psikolog tersebut dan menemukan bahwa konsep-konsep yang dicetuskannya tentang agama sesungguhnya membuktikan bahwa masa kecilnya ia mengalami kehidupan yang tidak terlalu baik. Teori yang yang dia ajarkan ternyata merupakan jalan hidupnya sendiri. Dia berpikir bahwa teori yang dia kemukakan itu adalah suatu kemutlakan. Dia pikir karena dia mengalami hal demikian, maka seluruh dunia juga pasti mengalami hal yang sama dengan dia. Ini adalah pemikiran yang terlalu over-confidence (GR) dan naif.
Bagaimana tanggapan konsep Kristen terhadap cetusan psikologi sekuler mengenai Bapa di Surga? Kita percaya konsep bapa di dalam dunia sebenarnya merupakan bagian dari image of God (gambar-rupa Allah). Kita keliru jika berpikir bahwa konsep Allah Tritunggal adalah fotokopi dari yang kita lihat di dunia. Faktanya, kitalah yang adalah -fotokopi- dari konsep Allah Tritunggal yang berada dalam kekekalan. Hubungan Bapa di Surga dengan Anak adalah keberadaan yang kekal, yang menjadi model dari hubungan bapa dan anak di dunia, kita jangan memutar-balikkan ini. Konsep ini bukan suatu proyeksi pemikiran manusia yang tidak puas dengan gambaran bapa di dunia ini. Ini adalah pemikiran yang keliru. Kalau kita ingin mengerti hubungan bapa dan anak yang sesungguhnya, kita harus menggali kembali dalam konsep Allah Tritunggal, yaitu hubungan Yesus Kristus dengan BapaNya di Surga. Yesus Kristus memberikan kepada kita teladan yang sempurna. Yesus seumur hidupnya bergantung kepada BapaNya di Surga, Dia adalah Allah yang sempurna dan selalu mengerjakan apa yang Allah Bapa percayakan kepada diriNya. Semua yang Dia kerjakan diterimaNya dari Bapa. Ini berkaitan dengan theology of grace, yaitu dalam seluruh kehidupan kita, kita harus mengerjakan yang Tuhan telah berikan kepada kita, bukan yang Tuhan tidak berikan pada kita (betapa banyaknya orang-orang yang berusaha mengerjakan banyak hal yang sebenarnya tidak Tuhan percayakan dalam dirinya, pekerjaan seperti itu lebih merupakan hasil ambisi pribadi yang berdosa daripada mengerjakan pekerjaan Tuhan).
Perkataan -Bapa kami yang di Surga- mengajarkan suatu sikap yang seharusnya mendarah daging dalam kehidupan kita, menyatakan eksistensi kita sebagai anak, pewaris dan orang yang bergantung kepada Bapa di Surga. Ada di Surga berarti bahwa Dia adalah Allah yang transcends, yang melampaui ciptaanNya. Inilah yang seharusnya terjadi dalam doa kita, kita seha2usnya diangkat dari keadaan kita dan menuju ke hadirat Allah yang berada dalam kekekalan. Filsafat doa adalah melalui iman kita keluar dari kesementaraan untuk berkait dengan kekekalan. Dalam doa, kita tidak berkata -Selamat pagi Roh Kudus- karena dengan berdoa demikian, justru menjadikan Allah berada dalam kesementaraan, diikat dalam waktu seperti kita (ini sudah pernah dilakukan oleh Allah dalam Yesus Kristus ketika Dia berinkarnasi). Roh Kudus bukan manusia dan tidak menjadi manusia (yang terikat dalam batasan waktu). Ini merupakan suatu kekacauan dalam ajaran kristen.
Firman Tuhan mengajarkan bahwa Allah diam di Surga dan waktu kita berdoakkepada Dia, kita seharusnya terangkat dalam iman untuk berjumpa dengan Dia. Itulah yang membebaskan kita dari tekanan kesulitan yang terjadi dalam dunia ini. Bukan berarti kita melarikan diri dari realita atau kesulitan hidup, tetapi justru menimba kekuatan untuk menghadapi realita yang terus menerus berubah dalam kehidupan kita. Orang yang tidak bisa transcends untuk keluar, akan sangat sengsara dan didikte oleh kejadian-kejadian di dunia ini. Akhirnya dia akan menjadi sangat responsive terhadap hal-hal yang sepertinya harus dia selesaikan dan bereskan. Ia akan sangat kelelahan. Tidak mungkin ada kekuatan untuk terus-menerus disibukkan oleh tuntutan persoalan yang tidak habis-habisnya. Akhirnya kehidupannya semakin miskin, dalam pengertian bahwa hidupnya tidak bisa dialirkan kepada orang lain.
Dalam doa kita harus belajar -meninggalkan- kesementaraan itu supaya ketika kita membuka mata kita kembali, kita akan melihat dunia ini dengan suatu pandangan yang berbeda (yaitu pandangan dari Tuhan). Ketika kita menutup mata, kita berada dalam keadaan gelap, secara simbolis ini dapat dimengerti kita menjauhkan diri dari segala cahaya kilauan daya tarik dunia. Dalam -kegelapan- terhadap dunia itu kita menghampiri tahta Tuhan dan mendapatkan terang Ilahi, sehingga ketika kita membuka mata, kita melihat dunia dengan suatu perspektif yang baru (prinsip ini sangat dimengerti oleh para pendoa pada jaman abad pertengahan). Dalam doa seharusnya terjadi transformasi seperti itu. Orang yang sebelum dan setelah berdoa seharusnya berbeda. Orang yang setelah selesai berdoa masih merasa memikul beban berat berarti dalam doanya belum melampaui kesementaraan.
Kalimat yang kedua menyatakan -dikuduskanlah namaMu-. Inilah permintaan yang pertama. Permintaan yang pertama berkaitan dengan Tuhan sendiri, yaitu agar nama Tuhan dikuduskan. Luther mengatakan bahwa permintaan yang pertama ini sebenarnya merupakan satu-satunya permintaan dalam Doa Bapa kami. Permintaan yang lain adalah sub atau penjabaran daripada permintaan yang pertama. Doa bukan dibagi seolah-olah ada keinginan Tuhan dan ada keinginan kita, ada urusan Tuhan dan ada keperluan kita. Doa ini bukan sedang mengajarkan dualisme. Sebenarnya kebutuhan kita juga adalah keinginan Tuhan, sesuatu yang juga dikehendaki oleh Tuhan. Tetapi yang menjadi persoalan adalah terkadang keinginan kita tidak di dalam keinginan Tuhan. Inilah yang mencelakakan kita. Kita menyatakan our own will tanpa memikirkan God’s will. Kalau kita memikirkan God’s will saja, itu sebenarnya sudah termasuk juga kebutuhan dan keperluan kita. Bahkan ada kebutuhan kita yang diketahui oleh Tuhan, yang kita sendiri belum tentu menyadarinya, karena seringkali kita salah dalam mengerti kebutuhan kita. Maka, kalimat permintaan yang pertama ini menjadi basis dari semua permintaan yang lain, yaitu dikuduskanlah namaMu. John Piper dalam bukunya Desiring God, mengutip Jonathan Edwards bahwa to glorify God and to enjoy Him is actually the same thing. Waktu seseorang menguduskan nama Tuhan, saat itulah terjadi suatu pemenuhan kehidupan yang paling tinggi. Hidup orang itu akan berada dalam kebahagiaan yang sejati.
Shakespeare dalam salah satu karya sastranya menulis -What is a name?- Ini adalah salah satu kalimat terkenal yang jika ditinjau dari perspektif alkitabiah tidak benar. Dalam pengertian Firman Tuhan, nama itu berarti mewakili kualitas atau natur dari orang tersebut. Yesus berarti Juruselamat. Nama-nama adalah kualitas yang seharusnya dihidupi dalam kehidupan. Waktu dikatakan bahwa seseorang mengenal nama Tuhan, itu berarti dia juga memiliki kuasaNya. Demikian dalam kebudayaan Ibrani, mengenal nama seseorang berarti memiliki kuasa dari orang tersebut. Tetapi seringkali dalam kehidupan sekarang nama itu menjadi tidak berarti, sehingga ketika kita membaca bagian ini, kita merasa nama Tuhan adalah nama Tuhan, ya itu saja. Alkitab menyatakan agar kita tidak menyebut nama Tuhan sembarangan. Artinya, janganlah kita seolah-olah merasa layak menyebut-nyebut nama Tuhan padahal kita sendiri bukan orang yang mengenal Tuhan. Dengan kata lain, itu tidak menguduskan nama Tuhan. Pengertian -dikuduskan namaMu- dapat diartikan memperhitungkan atau menganggap Dia sebagai Tuhan yang Maha kudus. Ketika kita mengatakan -dikuduskan namaMu- berarti kita mengakui bahwa Dia satu-satunya tujuan dalam hidup kita. Di tengah-tengah keadaan dunia di mana banyak orang yang tidak memperhitungkan nama Tuhan, ya, bahkan menghujat nama Tuhan, doa ini menjadi suatu permohonan kudus yang sangat langka, yang merupakan keunikan dari kehidupan orang-orang yang mengenal namaNya.
Ayat yang ke-10 menyatakan -datanglah kerajaanMu, jadilah kehendakMu, di bumi seperti di Surga-. Ada penafsiran yang mengatakan bahwa ini adalah doa yang diajarkan dengan konsep akhir jaman, dengan penantian kedatangan Yesus yang kedua. Tema kerajaan Allah adalah suatu tema yang besar dalam pengajaran Yesus Kristus. Di sini Dia mengajarkan agar murid-murid berdoa agar kerajaan Allah datang. Di jaman Yesus sendiri sebenarnya kerajaan itu sudah datang. Dalam konsep Kristen, kita mengerti akan aspek already and not yet. Dalam satu sisi, kerajaan Allah sudah datang: Dia mengusir setan, melenyapkan segala kelemahan, di situ Ia menyatakan diriNya sebagai Raja yang sudah datang. Tetapi kita melihat bahwa secara penuh kerajaanNya belum digenapi. Di dunia ini masih banyak orang yang melawan Tuhan, sehingga kita perlu terus menerus berdoa agar kerajaan Allah datang.
Ayat ini mengajarkan bahwa kedatangan kerajaan Allah dikaitkan dengan terjadinya kehendakNya. Datangnya kerajaan Allah berarti terjadinya kehendak Tuhan dengan semakin sempurna dalam dunia ini. Kehendak Tuhan memang pasti terjadi dalam pengertian God’s sovereign will. Kehendak Tuhan kita mengerti dalam dua perspektif, yaitu God’s sovereign will yang memang pasti selalu terjadi, dan God’s moral will sebagaimana dinyatakan dalam Alkitab. Kita tidak percaya konsep deisme yang menyatakan bahwa setelah Tuhan mencipta dunia, Dia tidak melakukan intervensi, tidak melakukan pengontrolan sampai Dia datang kembali. Kita percaya bahwa Tuhan mengontrol (baca: menopang) segala sesuatu. Sedangkan God’s moral will tidak selalu ditaati oleh manusia, sehingga kehendak Tuhan ini tidak selalu terjadi secara sempurna. Sementara di Surga, God’s moral will terjadi bersamaan dengan God’s sovereign will. Surga dapat didefinisikan sebagai tempat di mana God’s sovereign will dan God’s moral will terjadi secara sempurna. Karena itu persoalan paradoks kehendak Allah ini akan terselesaikan secara sempurna di Surga.
Di dunia ini, persoalan paradoks membuat kita seolah-olah hidup dalam dua kutub. Kitab Pengkhotbah membicarakan prinsip ini dengan indah. Dia menyelesaikan paradoks ini dalam konsep waktu. Dia mengatakan ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa, demikian seterusnya dengan paradoks lainnya. Ada waktu kita harus membangun dalam kehidupan kita, ada waktu juga di mana kita harus menghancurkan yang salah. Waktu menjadi satu wadah yang diberikan untuk menyelesaikan masalah paradoks yang kita harus alami selama masih hidup di dunia ini (yang terbatas oleh waktu). Orang yang mengerti dalam menghidupi waktu secara benar disebut sebagai orang yang bijaksana. Dalam Pengkhotbah dikatakan bahwa Tuhan menjadikan segala sesuatu indah pada waktuNya. Maksudnya perpindahan dari satu waktu ke waktu lain menjadi suatu yang indah dalam rajutan Tuhan. Ini merupakan konsep yang berkaitan erat dengan konsep God’s sovereign will. Waktu kita tidak taat kehendak Tuhan, kita berpotensi merusak kehidupan kita sendiri. Sebaliknya ketika kita taat kepada kehendakNya, kita tidak akan kesulitan untuk menghadapi paradoks dalam kehidupan ini, karena sama seperti di sorga, God-s sovereign will dan God-s moral will sebenarnya merupakan 1 kehendak Allah (dengan perspektif yang berbeda) dan bukan 2 kehendak Allah. Dengan kata lain, kita dengan bebas dapat menerima Allah dengan kehendak kedaulatanNya ketika kita sepenuhnya taat kepadaNya (disintegrasi itu bukanlah disintegrasi dalam kehendak Allah, melainkan disintegrasi dalam kehidupan kita yang tidak selalu taat kepadaNya).
Ketika kita menjadi orang Kristen yang menggumulkan kehendak Tuhan, janganlah pikiran kita dibatasi hanya dalam batasan individu. Contohnya sering kali ketika kita membicarakan holiness, kita menyebut tentang personal holiness. Ini memang tidak salah. Tetapi bagaimana membicarakan holiness sebagai konsep komunitas? Dalam ayat ini kita sekali lagi juga diingatkan bahwa scope kerajaan Allah itu adalah sangat luas, bahkan lebih luas daripada Gereja itu sendiri. Kita tidak bisa mengatakan kerajaan Allah adalah sama dengan Gereja. Ajaran Katolik pada jaman abad pertengahan cenderung mengidentikkan kerajaan Allah dengan gereja yang institusional. Sekarang kita melihat bahwa Tuhan mengijinkan Vatikan menjadi salah satu negara yang paling kecil di dunia. Apa maksudnya? Tuhan tidak mengijinkan perluasan Kerajaan Allah dimengerti sebagai expansi institusional gereja! Alkitab mengajarkan agar kita tidak terjebak dalam konsep ekspansi institusional. Ketika kita berdoa -datanglah kerajaanMu-, kita minta agar kehendak Tuhan semakin terjadi dengan sempurna. Sehingga ketika kita berdoa demikian, kita tetap bisa mendoakan orang-orang yang bukan Kristen (dalam pemerintahan misalnya), karena melalui mereka juga kehendak Tuhan bisa digenapi. Kita tidak bersikap sempit dengan mendoakan hanya orang-orang kristen saja. Namun ini tidak berarti bahwa orang yang tidak percaya nantinya juga akan berbagian dalam kerajaan Allah. Yang dimaksudkan ialah, orang-orang yang di luar Tuhan sekalipun tetap dapat dipakai Tuhan untuk menggenapi kehendak dan rencanaNya. Tugas penginjilan menjadi mandat yang harus kita lakukan dengan setia. Ada orang-orang yang tidak percaya yang dipakai Tuhan, namun bagaimanapun pengertian, kepekaan dan cinta terhadap kebenaran sangat terbatas. Mereka tetap memerlukan suatu perubahan hati, kelahiran baru yang hanya dapat dikerjakan oleh Roh Kudus. Sehingga dalam mendoakan -datanglah kerajaanMu, jadilah kehendakMu- juga berarti suatu tugas memberitakan Injil kepada mereka yang belum mengenal Dia. Kiranya Tuhan yang terus berkarya sampai hari ini, menggerakkan dan melibatkan kita untuk berbagian dalam rencanaNya yang mulia. S.D.G.
Billy Kristanto